Rawon beserta isinya tidak pernah sekadar irisan daging dengan bumbu keluak dan rempah-rempah lainnya, sebab ada cinta yang dituang dalam tiap adukan kuah. Bagi saya, makanan ini bukan cuma tradisi kuliner, melainkan simbol rumah, ibu, dan cinta yang tidak bisa digantikan.
Meskipun hitam pekat, ketika kita menyendoknya masuk ke dalam gua bergigi, likuid hangat itu lekas mengantarkan kasih sayang dari jemari pembuatnya.
Berasal dari Jawa Timur, rawon juga dikenal dengan sebutan black soup karena kuahnya yang berwarna hitam. Warna hitam ini berasal dari buah kepayang atau keluak. Biasanya, rawon disajikan dengan nasi hangat.
Untuk melengkapi irisan daging sapi, keluak, dan rempah-rempah dalam kuah, bisa juga ditambahkan taoge rebus, daun bawang, sambal, dan perasan jeruk nipis agar cita rasa rawon lebih keluar. Kemudian, pilihan antara telur ayam rebus atau telur asin; serta kerupuk udang atau emping bisa menyesuaikan selera lidah masing-masing.
Akan tetapi, bukan itu poin dari makanan khas Jawa Timur ini, setidaknya bagi saya. Di balik pekatnya kuah rawon, ada kenangan dan harapan yang saya rasakan secara dalam dan personal.
Ini Berawal dari Kedekatan Personal
Saya memanggilnya Bunda. Meskipun bukan berasal dari Jawa Timur, Bunda mengenalkan semangkuk rawon yang hangat dan gurih. Racikannya khas. Rasa yang disajikan pun selalu membuat saya mengunyah kata "pulang" berkali-kali, betapa tiap sendokan yang ditelan mengingatkan saya ribu-juta alasan untuk tetap melangkah.
Tinggal jauh dari kedua orang tua membuat saya lebih menghargai waktu yang kami miliki bersama. Terkadang, masing-masing dari kami sibuk dengan urusan sendiri. Terkadang pula, masing-masing dari kami lebih senang melihat layar gawai dibanding bertukar kata satu sama lain. Namun, ketika semangkuk rawon hangat disajikan di atas meja makan, kami kembali bercanda dan tertawa, diselipi emping renyah pada tiap suapan.
Pernah sekali saya mencoba racikan kuah rawon dari tangan berbeda. Sayangnya, rasa yang dihasilkan jauh sekali dari rawon pertama yang saya cicipi saat itu. Kuahnya memang gurih, daging sapinya pun sangat empuk, tetapi tidak ada kasih sayang di dalam mangkuknya.
Bukan sekali-dua kali kesedihan tersirat dalam diri. Tiap kali melihat rawon dari kanal YouTube yang numpang lewat, saya semakin rindu dengan rumah. Hidup di kota berbeda, tanpa bisa menikmati rawon buatan Bunda, rasanya seperti mengalami mimpi buruk bertubi-tubi. Kesannya tampak berlebihan, tetapi manusia bisa apa jika terus-menerus menolak apa yang dirasakannya?
Antara Hangat dan Sepi, Ada Taoge di Tengahnya
Selain kekuatan keluak, rempah-rempah, dan kelembutan daging sapi yang pas, selipan kerenyahan taoge juga jadi pelengkap cinta dan kasih sayang yang Bunda tuangkan pada kuah rawon.
Taoge jadi pelengkap yang tidak pernah saya lewatkan. Kehadiran taoge jadi pengisi dalam ruang-ruang sepi. Butirannya memenuhi kekosongan dalam hati, dan itu hampir membuat saya merasa berada dalam rengkuhan Bunda, seolah segalanya memang akan baik-baik saja.
Porsinya selalu diambil lebih banyak, bahkan sering kali jadi pengganti nasi, mengingat pribadi ini tidak menyukai tekstur dan rasa nasi putih pada lidah. Namun, tindakan tersebut tidak untuk ditiru karena bergantung selera masing-masing. Preferensi saya dalam menikmati rawon adalah seperti itu, dan mungkin banyak juga yang lebih suka menggado rawon.
Meskipun demikian, beruntungnya saya karena tidak pernah menerima protes. Saya pikir, Bunda pasti menganggapnya sebagai: "yang penting anakku mau makan."
Benar adanya jika bagi sebagian orang rawon sekadar makanan khas dari Jawa Timur yang kuahnya hitam pekat dengan cita rasa rempah-rempah dan keluak. Akan tetapi, bagi saya, rawon—lebih tepatnya, rawon racikan Bunda—adalah bukti bahwa cinta bisa disajikan dalam semangkuk kuah hitam pekat.
Sampai kapan pun, rawon buatan Bunda akan selalu jadi makanan spesial setiap kali saya pulang ke rumah.
"Besok mau masak apa?" dan saya lekas menjawab tanpa perlu berpikir dua kali, "Rawon." karena dari semua rasa di dunia, hanya itu yang membuat saya ingin pulang.