Di suatu pagi selepas hujan deras di kota tempat saya tumbuh, saya pernah melihat bagaimana air tergenang begitu lama di sudut jalan yang dulu saya tahu adalah rawa kecil. Kini, area itu telah berubah menjadi barisan ruko dan permukiman baru. Tak ada lagi suara katak, tak ada air yang mengalir diam-diam meresap ke tanah. Hanya genangan yang tak tahu ke mana harus mengalir.
Cerita ini barangkali terasa biasa. Tapi ia mencerminkan tragedi ekologi yang terjadi nyaris diam-diam di banyak tempat: lahan basah, rawa, gambut, dan mangrove. Habitat hidup yang menyimpan karbon dan air dipangkas demi pembangunan.
Lahan Basah: Penyangga yang Terlupakan
Lahan basah menyimpan lebih dari 40% spesies makhluk hidup dunia. Di Indonesia, wilayah ini mencakup sekitar 40 juta hektare. Mulai dari rawa gambut di pedalaman Sumatra, hingga pesisir mangrove di Kalimantan dan Jawa. Ia bekerja tanpa pamrih: menahan banjir, menyerap karbon, menyaring air, dan menjadi lumbung pangan bagi masyarakat lokal.
Namun, dalam narasi pembangunan kita, rawa justru dianggap sebagai lahan kosong yang "belum dimanfaatkan". Maka tak heran jika proyek infrastruktur, perumahan, hingga industri berlomba mengeringkannya. Ketika beton ditanam di atas rawa, kita tak hanya menggusur air, tapi juga mengusir kehidupan.
Dalam dua dekade terakhir, banyak contoh nyata alih fungsi lahan basah yang berujung pada bencana ekologis. Di Riau, proyek tol Pekanbaru–Bangkinang membongkar kawasan gambut dalam. Di Sumatera Selatan, rawa lebak di Sungai Musi yang di mana tempat ribuan warga menggantungkan hidupnya dari ikan air tawar menjadi beralih rupa jadi perkebunan sawit. Bahkan reklamasi pesisir Surabaya telah menghapus zona tangkapan ikan bagi ribuan nelayan tradisional.
Dampaknya tak main-main: banjir semakin kerap, ikan asli menghilang, dan karbon dari lahan gambut yang dikeringkan terlepas ke atmosfer. Lahan yang semestinya menyimpan karbon tiga kali lipat lebih banyak daripada hutan biasa, kini malah menjadi sumber emisi besar. Bahkan, risiko kebakaran lahan semakin tinggi setiap musim kemarau tiba.
Di Mana Harapan Bisa Ditanam?
Hal yang paling ironis, mereka yang paling terdampak justru paling tak terdengar suaranya. Di rawa-rawa Musi, misalnya, nelayan kecil perlahan digeser oleh tambak-tambak intensif dan kanal-kanal buatan.
Data menunjukkan, produksi ikan dari tangkapan alami turun drastis, digantikan oleh budidaya ikan invasif seperti nila dan lele. Di Kalimantan Tengah, masyarakat adat kehilangan akses atas tanah karena proyek-proyek besar memaksa mereka meninggalkan rawa. Tanah leluhur yang telah mereka jaga selama ratusan tahun.
Bencana juga menjadi bayaran: kebakaran gambut, kabut asap, dan banjir bandang terus menghantui. Tahun 1997–1998, Mega Rice Project di Kalimantan menyebabkan kerugian hampir USD 10 miliar. Dan hingga hari ini, jejak kerusakannya belum sepenuhnya pulih.
Tak semua cerita berakhir kelam. Sejak 2016, pemerintah melalui BRGM telah memulihkan lebih dari 1,6 juta hektare lahan gambut dan 84 ribu hektare mangrove. Program seperti Mangrove for Coastal Resilience menargetkan rehabilitasi 600 ribu hektare area kritis. Lebih dari 1.100 desa kini tergabung dalam gerakan Desa Peduli Gambut.
Namun, upaya ini belum cukup. Laporan WALHI menyebut bahwa 70% lahan gambut di Indonesia masih berada di bawah kendali konsesi industri.
Banyak program restorasi berjalan formalitas. Sekadar membangun sekat kanal tanpa menjamin perbaikan ekosistem. Di sisi lain, pengawasan lemah membuat banyak perusahaan tetap leluasa menguras sumber daya rawa.
Menolak Narasi Lama: Rawa Bukan Lahan Kosong
Sudah waktunya kita menolak narasi bahwa rawa adalah lahan tidur. Rawa menyimpan kehidupan. Ia adalah tempat air beristirahat, tempat karbon disimpan, tempat burung-burung berhenti migrasi, dan tempat manusia merawat keseimbangan. Menghapusnya sama dengan menghapus sistem pendukung hidup kita sendiri.
Membangun bukan berarti harus menguruk semuanya. Kemajuan sejati adalah ketika kita mampu merancang kota, industri, dan infrastruktur yang selaras dengan ekosistem alaminya.
Mungkin kita tak lagi mendengar suara kodok yang bersahutan selepas hujan, atau melihat lebung yang dulu menjadi ruang bermain ikan-ikan kecil. Tapi kita masih bisa memilih, apakah kita ingin membiarkan rawa-rawa terakhir hilang diam-diam, atau memperjuangkannya sebagai bagian dari masa depan bersama?
Karena rawa tak bersuara, maka kita yang harus bersuara untuknya. Sebelum semuanya benar-benar tenggelam. Bukan karena air, tapi karena keserakahan.