FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial

Hikmawan Firdaus | Ridho Hardisk
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
Ilustrasi FOMO literasi (freepik.com)

Dalam dunia para pecinta buku, membaca seharusnya menjadi ruang aman. Aktivitas sunyi yang membawa kita menjelajah tanpa harus berpindah tempat. Namun kini, membaca juga bisa jadi sumber stres baru. Bukan karena bukunya berat, tapi karena tekanan sosial yang datang bersama tagar: #Bookstagram, #GoodreadsChallenge, hingga #ReadingGoals.

Fenomena ini punya nama, FOMO literasi—Fear of Missing Out dalam dunia membaca. Dan seperti FOMO dalam aspek lain, ia lahir dari budaya media sosial yang mendorong kita untuk terus tampil produktif, relevan, dan mengesankan. Termasuk saat membaca buku.

Ketika Buku Tak Lagi Dibaca, Tapi Dipamerkan

Di Instagram, komunitas #Bookstagram telah melampaui 116 juta unggahan. Ada estetika khas: susunan buku dengan latar kopi, kutipan puitis, hingga daftar bacaan bulanan yang didesain ala infografis. Di baliknya, banyak pengguna mengaku merasa tertekan untuk terus membaca, terus posting, terus tampil sebagai pembaca aktif. Jika tidak, takut dibilang ketinggalan zaman atau “nggak produktif”.

Padahal membaca mestinya soal refleksi dan perenungan. Tapi algoritma tidak sabar. Ia menyukai kuantitas. Dan perlombaan pun dimulai: siapa yang paling banyak membaca, paling cepat menamatkan, paling update soal buku terbaru.

Tak sedikit yang menyusun TBR list alias To Be Read, yaitu daftar bacaan yang ingin diselesaikan. Tapi lama-lama daftar ini justru menjelma jadi tumpukan utang bacaan yang bikin stres. Bukannya menikmati satu buku, kita justru cemas karena belum menamatkan yang lain. Ironisnya, kegelisahan ini bukan karena keinginan pribadi, tapi karena tekanan sosial tak terlihat yang dibentuk komunitas dan algoritma.

Sebuah survei dari Pew Research (2022) menunjukkan bahwa meski minat baca naik secara digital, kualitas membaca justru menurun. Banyak yang membaca cepat demi menghindari spoiler atau demi segera bisa posting review. Akibatnya, pengalaman membaca jadi dangkal dan tidak menyentuh aspek pemahaman mendalam.

Bahkan dalam konteks pendidikan, tren ini mulai meresap. Di kalangan mahasiswa atau pelajar aktif di komunitas buku daring, membaca tidak lagi semata untuk belajar, tapi juga untuk tampil. Beberapa dari mereka mengaku merasa gagal jika tidak memenuhi target 30 atau 50 buku setahun. Bukankah ini seperti lomba maraton tanpa garis akhir?

Dampak Psikologis FOMO yang Nyata

Efeknya tidak bisa disepelekan. Riset dari Verywell Mind menyebut FOMO dalam aktivitas yang seharusnya menyenangkan bisa berdampak pada kepercayaan diri, menurunkan kebahagiaan, hingga meningkatkan kecemasan sosial. Apa yang tadinya menjadi aktivitas relaksasi, kini berubah jadi tekanan mental terselubung.

Sebuah penelitian lokal dari Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya juga mencatat bahwa tren pamer literasi di media sosial bisa membentuk identitas semu. Orang membentuk persona sebagai pembaca kritis atau kutu buku, meskipun secara aktual tidak menikmati atau bahkan menyelesaikan bacaan tersebut. Identitas sosial terbentuk dari citra, bukan makna.

Tentu, tidak semua ekspresi literasi di media sosial berbahaya. Banyak yang justru terinspirasi untuk kembali membaca, menemukan komunitas yang mendukung, atau menemukan buku-buku penting yang sebelumnya tak dikenal. Tapi garis batasnya tipis. Antara inspirasi dan tekanan, hanya dibatasi oleh intensi kita sendiri.

Maka, barangkali kita perlu melambat. Kembali menjadikan membaca sebagai ritual pribadi, bukan performa publik. Tak mengapa jika satu buku butuh waktu dua bulan. Tak usah merasa gagal jika lebih suka membaca ulang Sang Pemimpi ketimbang buku baru yang lagi viral. Karena membaca bukan tentang cepat atau banyak, melainkan tentang dekat dan mendalam.

Di tengah zaman yang serba instan, membaca pelan bisa menjadi bentuk perlawanan yang lembut. Dan barangkali, di situlah letak sejati kenikmatan membaca. Bukan di jumlah, tapi di jeda. Bukan di sorotan publik, tapi di percakapan pribadi antara kita dan lembar demi lembar yang kita dekap.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak