Ada semacam anggapan tak tertulis bahwa membaca buku itu harus dari awal sampai akhir, tanpa terlewat satu halaman pun.
Apalagi buku nonfiksi, kalau tidak ditamatkan, katanya sayang, mubazir, atau tidak mendapat ilmu utuh. Tapi benarkah begitu? Pada kenyataannya, banyak buku nonfiksi justru tidak ditujukan untuk dibaca secara linier.
Buku pengembangan diri, motivasi, psikologi populer, sampai buku-buku strategi atau manajemen, biasanya dibagi dalam bab-bab yang berdiri sendiri. Artinya, kita bebas membaca bagian mana pun yang relevan atau menarik minat tanpa harus merasa bersalah.
Sering kali, yang kita butuhkan hanya satu bagian kecil dari keseluruhan buku, sebuah bab tentang “cara mengelola stres”, misalnya, atau “tips membangun kebiasaan baik”. Dan itu cukup.
Tidak semua orang harus membaca seluruh isi buku untuk mendapatkan manfaat. Kadang justru satu kalimat, satu ilustrasi, atau satu analogi yang tepat sasaran, sudah bisa memberi dampak besar bagi pembaca.
Daftar isi adalah teman baik dalam hal ini. Melalui daftar isi, kita bisa melihat peta ide buku tersebut. Dari situ, kita bisa langsung memilih bab mana yang paling relevan dengan kondisi atau pertanyaan kita saat ini. Ini bukan cara membaca yang malas, tapi cara membaca yang lebih efisien dan kontekstual.
Tentu, membaca dari awal hingga akhir tetap ideal untuk buku yang memang beralur atau memiliki kesinambungan logis antarbab seperti biografi, atau yang membahas soal sejarah.
Tapi untuk sebagian besar nonfiksi praktis, pendekatan selektif bisa jauh lebih bermanfaat. Lagi pula, tujuan utama membaca bukanlah menyelesaikan halaman, tetapi menyerap makna.
Jika kamu merasa cukup tercerahkan hanya dari dua bab dan sisanya tidak terlalu relevan, itu tetap sah. Tidak ada aturan saklek dalam dunia membaca yang mengatakan kamu harus paham semua isi buku hanya karena sudah membelinya.
Namun ada hal lain yang juga perlu disadari saat membaca buku nonfiksi, tidak semua isi buku harus kita ikuti atau setujui. Kadang, ada bagian-bagian yang justru bertentangan dengan prinsip atau idealisme kita.
Misalnya, sebuah buku motivasi bisa saja menyarankan ambisi dan produktivitas tanpa henti, padahal kita sedang dalam fase ingin hidup lebih tenang dan seimbang.
Atau buku parenting yang terlalu keras aturannya, sementara kita punya pendekatan yang lebih lembut. Dan itu tidak apa-apa. Bukan berarti juga buku tersebut jelek atau tidak layak dibaca, tapi ini soal preferensi dan selera dalam memahami setiap isi buku.
Membaca bukan berarti harus menyerap semua isi tanpa filter. Justru pembaca yang sehat adalah mereka yang bisa memilah dan mengkritisi, bukan hanya menerima.
Tidak ada kewajiban untuk menerapkan semua yang ditulis. Kita bisa mengambil poin yang sesuai, dan melewatkan bagian yang terasa tidak cocok. Karena pada akhirnya, buku hanyalah satu sudut pandang, bukan kebenaran mutlak.
Dengan pola pikir ini, kita juga bisa mengurangi tekanan dari rasa bersalah karena tidak menamatkan buku. Kita membaca karena ingin tahu, bukan karena sedang mengejar validasi.
Membaca buku nonfiksi ibarat mengambil makanan dari prasmanan, kita bisa pilih apa yang ingin kita konsumsi, sesuai kebutuhan dan selera. Bukan soal habis atau tidak, tapi soal bergizi atau tidak.
Jadi, kalau kamu merasa hanya ingin membaca sebagian buku, terutama nonfiksi, lakukan saja. Ambil yang kamu butuhkan. Bacaan bukan ujian hafalan, melainkan jendela untuk memperluas perspektif.