Indonesia adalah negara yang kaya. Kaya akan hutan, sumber daya yang melimpah, bahkan kaya akan air. Melansir dari Goodstats, Pada tahun 2020 sumber daya air terbarukan Indonesia mencapai 2.018,7 km³/tahun dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sumber daya air terbanyak se-Asia Tenggara. Hal ini tidak terlepas dari faktor geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan. Sekitar 62% luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan.
Selain data tersebut, merujuk pada data yang diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pihaknya menyebutkan bahwa perbandingan luas wilayah daratan dan luas wilayah perairan Indonesia ialah 1,91 juta km² daratan banding 6,32 juta km² lautan.
Berdasarkan data tersebut, maka tak heran jika negara ini sering disebut negeri kaya air. Lalu apa masalahnya? Masalahnya ada dikenyataan bahwa saat ini banyak kasus yang menyebutkan bahwa air makin sulit didapat, kualitasnya merosot, dan aksesnya tidak merata.
Ironisnya, Menurut studi World Resource Institute (2015), Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi mengalami krisis air pada tahun 2040. Pertanyaannya sederhana akhirnya muncul, “Apa arti kekayaan air jika warga harus antre berjam-jam dengan jerigen, atau membeli air dengan harga yang lebih mahal daripada bensin?” Ini bukan sekadar paradoks. Ini adalah bukti kegagalan kita menjaga sumber kehidupan yang telah alam berikan.
Air hilang di tengah gemerlap kota
Tak bisa dipungkiri bahwa kota-kota besar di Indonesia tumbuh layak raksasa yang rakus. Bagaimana beton menutup tanah, ruang hijau digusur, sungai dijadikan tong sampah limbah. Akhirnya setiap kali hujan deras, banjir akan datang dan setiap kali kemarau panjang, kekeringan menghantam.
Bukan hanya di kota besar, pedesaan pun juga sama masalahnya. Bagaimana pembangunan yang terus menerus ini menjadi mesin pencemar yang menelan daya hidup bumi. Jika pembangunan-pembangunan yang dilakukan tanpa adanya kepedulian terhadap lingkungan, maka pembangunan itu akan terus merampas air. Kemajuan hanya akan menjadi sihanya menambah gedung tapi merampas air, maka kota besar bukanlah simbol dan tanda kehancuran yang dipoles.
Krisis air dan dampaknya
Laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2020, telah menyebutkan bahwa beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami kelangkaan atau krisis air bersih pada 2045. Proporsi luas wilayah krisis air juga diprediksi akan meningkat dari 6 persen pada 2000 menjadi 9,6 persen pada 2045.
Walaupun dalam data, krisis masih akan dihadapi puluhan tahun ke depan. Nyatanya, krisis air bukan lagi soal statistic. Banyak berita yang menampilkan gambar di mana warga Indonesia sulit untuk mengakses air bersih untuk ke hidupannya.
Artinya krisis air bukan lagi statistik, tapi soal tubuh dan perut manusia. Anak-anak tumbuh dengan air tercemar, orang dewasa sakit karena kualitas air buruk, dan warga miskin membayar lebih mahal hanya untuk seember air bersih. Ironis, bukan?
Di negeri yang katanya ‘merdeka’, ada warga yang masih belum merdeka untuk sekadar mencuci, memasak, atau mandi. Krisis air adalah wajah ketidakadilan yang sesungguhnya.
Solusi dari regulasi hingga partisipasi
Lalu menghadapi kasus seperti ini apa solsui yang harus di lakukan? Kita sering menunggu solusi datang dari luar, padahal jawabannya ada di sekitar kita.
Mengawali semua ini harus dari diri sendiri. Mulai belajar untuk menggunakan air secukupnya (jangan boros air), menampung hujan, menjaga sungai dari sampah, menolak pemborosan ruang hijau. Langkah-langkah tu bisa dimulai sekarang dari kita.
Tapi mari bicara lebih jujur, solusi individu tentu saja tidak cukup kan? Regulasi yang sudah ada, harus dijalankan dengan serius. Jika pemerintah berani menegakkan aturan, membatasi eksploitasi air tanah, melindungi resapan, dan menghukum pencemar, maka krisis air tidak akan sedalam hari ini.
Jangan biarkan bumi bersuara
Bagi penulis, jangan biarkan bumi berteriak. Jangan biarkan bumi kehausan. Oleh karena itu, suara kita tidak boleh diam. Ini bukan hanya isu lingkungan, tapi juga isu kemerdekaan. Apa arti merdeka jika akhirnya kita masih terbelenggu oleh krisis air? Apa arti pembangunan jika warganya kehilangan hak paling dasar untuk hidup?
Suara kita harus lantang. Kita harus menolak diam, menuntut hak, dan mengingatkan bahwa tanpa air, semua slogan tentang masa depan hanyalah fatamorgana. Jika benar kita cinta pada bumi, maka suara kritis kita harus mengalir deras, seperti air yang ingin kita selamatkan.