Apatis atau Aksi? Pilihan Anak Muda di Tengah Gelombang Protes

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Apatis atau Aksi? Pilihan Anak Muda di Tengah Gelombang Protes
Massa saat menggelar aksi di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (29/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Beberapa minggu terakhir, layar ponsel kita seperti berubah jadi arena politik jalanan. Scroll sebentar di media sosial, yang muncul bukan lagi dance challenge atau video kucing lucu, tapi kerumunan massa, orasi lantang, gas air mata yang mengepul, dan wajah-wajah rakyat yang berteriak menuntut perubahan.

Demonstrasi bukan lagi berita dari Jakarta, tapi nyata di banyak kota di Indonesia, dari Makassar sampai Yogyakarta, dari Bandung sampai Medan. Bahkan media asing ikut menyorot, menulis soal gelombang protes yang merambah berbagai daerah di negeri ini.

Aksi polisi berhadapan dengan ibu-ibu saat demo tanggal 28 Agustus 2025. [Ist]
Aksi polisi berhadapan dengan ibu-ibu saat demo tanggal 28 Agustus 2025. [Ist]

Di tengah hiruk pikuk itu, sebagai anak muda Indonesia, apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah cukup menonton, merekam, lalu mengunggah? Atau harus turun ke jalan ikut berteriak? Atau jangan-jangan ada cara lain yang lebih panjang napasnya, tapi sama kuatnya dalam mengubah keadaan?

Demo selalu punya wajah ganda. Di satu sisi, demo adalah cara paling kasat mata untuk menunjukkan bahwa rakyat punya suara, punya amarah, dan punya tuntutan.

Kita ingat bagaimana Reformasi 1998 digerakkan oleh mahasiswa, bagaimana orasi-orasi di jalan membuka jalan untuk perubahan besar.

Di sisi lain, demo juga sering dipotret hanya sebagai keributan—jalan macet, kaca pecah, gas air mata, bahkan kekerasan. Narasi ini tidak muncul begitu saja, melainkan dibentuk juga oleh media arus utama, framing pemerintah, hingga bias masyarakat yang lebih suka kenyamanan ketimbang perlawanan.

Bagi anak muda, posisi ini tricky. Kita hidup di era ketika suara bisa melintas jauh hanya dengan mengetik di layar. Satu utas Twitter (atau X, sekarang namanya) bisa dibaca ratusan ribu orang, satu video TikTok bisa membuat isu lokal jadi perhatian internasional.

Artinya, kita tidak lagi sepenuhnya bergantung pada media besar untuk bersuara. Tapi, apakah sekadar viral cukup? Atau jangan-jangan, tanpa aksi nyata, suara itu cepat hilang ditelan algoritma?

Ada alasan kenapa demo kali ini terasa berbeda. Pertama, skalanya nasional. Rasa marah dan frustrasi bukan hanya milik ibu kota. Di banyak daerah, isu yang awalnya tampak “pusat-sentris” justru diterjemahkan ke konteks lokal, soal pendidikan yang makin mahal, soal lapangan kerja yang makin sempit, soal harga-harga kebutuhan pokok yang mencekik.

Kedua, generasi muda mengambil peran cukup besar. Banyak wajah di jalan adalah mahasiswa, pelajar, pekerja muda. Mereka yang lahir setelah Reformasi, tumbuh dengan cerita tentang kebebasan demokrasi, kini mempertanyakan, benarkah kebebasan itu masih utuh?

Kondisi taman di Jalan Jenderal Sudirman yang rusak. (Suara.com/Ari Welianto)
Kondisi taman di Jalan Jenderal Sudirman yang rusak. (Suara.com/Ari Welianto)

Benarkah demokrasi ini masih punya ruang untuk rakyat kecil? Ironisnya, narasi yang sering muncul di media justru melabeli anak muda sebagai “provokator” atau “massa yang dimanfaatkan”. Seakan-akan kita tidak punya pikiran sendiri, tidak bisa marah sendiri.

Di sinilah letak tantangannya. Anak muda perlu mengambil kendali narasi. Kalau kita hanya membiarkan suara kita dibentuk media, demo akan terus dilabeli jadi kekacauan. Padahal di balik teriakan, ada keresahan yang harus terus diperdengarkan.

Dan anak muda punya banyak cara, dari menulis opini, membuat konten, menyebarkan informasi yang benar, sampai ikut mendorong diskusi di ruang-ruang kecil, seperti kelas, kampus, komunitas, atau bahkan grup WhatsApp keluarga.

Tapi tentu saja, bukan berarti semua harus turun ke jalan. Tidak semua orang siap, tidak semua orang mampu, dan itu wajar. Yang lebih penting justru bagaimana kita tidak berhenti pada titik menonton. Menonton demo, mengeluh sebentar, lalu lanjut scroll mencari hiburan lain. Kalau semua hanya berhenti di situ, perubahan cuma jadi mimpi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai anak muda?

Pertama, terus belajar membaca situasi dengan kritis. Jangan gampang terjebak narasi tunggal, baik dari pemerintah maupun media. Cari sumber berbeda, dengarkan cerita langsung dari lapangan.

Kedua, rawat solidaritas. Demo di jalan sering kali hanya berlangsung sehari-dua, tapi energi solidaritas bisa dipupuk lebih lama lewat gerakan sosial, komunitas, dan jaringan.

Ketiga, jangan biarkan isu menguap begitu saja. Ada banyak contoh, demo besar muncul, media ramai liput, tapi seminggu kemudian isu seolah hilang. Tugas kita adalah menjaga agar percakapan tetap hidup.

Di luar itu, anak muda juga bisa mendorong perubahan lewat jalur-jalur lain, seperti seni, teknologi, pendidikan, bahkan bisnis. Tidak semua perlawanan harus berupa teriakan di jalan; ada juga perlawanan yang hadir dalam bentuk karya, inovasi, atau pendidikan yang membebaskan. Yang penting, jangan apatis.

Karena kalau kita diam, siapa yang akan bicara? Kalau kita hanya menonton, siapa yang akan bergerak?

Demo-demo yang sekarang berlangsung bukan sekadar tontonan, melainkan bukti bahwa negara kita rapuh, penuh luka, tapi juga penuh keberanian. Dan kita tidak bisa terus bersembunyi di belakang layar ponsel.

Mungkin kita tidak bisa mengubah keadaan dalam semalam. Mungkin suara kita tidak langsung mengguncang gedung-gedung kekuasaan yang dikelilingi beton tebal. Tapi sejarah sudah berkali-kali membuktikan, setiap perubahan besar selalu dimulai dari suara-suara kecil yang berani bersuara.

Dan kali ini, giliran kita untuk memutuskan, apakah ingin jadi penonton, atau bagian dari cerita perubahan?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?