QRIS Antarnegara: Simbol Indonesia Jadi Pemain Utama Ekonomi Digital ASEAN

Hikmawan Firdaus | Fauzah Hs
QRIS Antarnegara: Simbol Indonesia Jadi Pemain Utama Ekonomi Digital ASEAN
Ilustrasi QRIS (qris.interactive.co.id)

Sobat Yoursay, bayangkan kamu sedang liburan ke Bangkok. Kamu mampir ke kafe kecil di tepi jalan, pesan Thai tea, dan saat kasir menyerahkan struk, kamu tinggal buka aplikasi dompet digital di ponselmu, pindai QR code, bayar pakai rupiah, dan transaksi langsung beres tanpa menukar uang, tanpa ribet cari money changer. Terdengar seperti masa depan sudah di depan mata kan?

Sejak 2023, Bank Indonesia mulai meluncurkan kerja sama QRIS antarnegara. Awalnya dengan Thailand, lalu disusul Malaysia, Singapura, dan baru-baru ini Filipina.

Itu berarti QRIS bukan cuma alat bayar di warung kopi lokal, tapi kini telah jadi jembatan ekonomi lintas batas di kawasan Asia Tenggara. Dan ini, Sobat Yoursay, adalah langkah besar yang sering kali luput dari sorotan publik.

Kalau kita mundur sedikit, ide dasarnya adalah menyatukan sistem pembayaran berbasis QR code agar bisa saling digunakan di negara-negara ASEAN. Jadi, warga Indonesia bisa bertransaksi di luar negeri cukup dengan aplikasi pembayaran lokal seperti GoPay, OVO, DANA, atau Livin’ by Mandiri — selama merchant-nya terhubung ke sistem QR lintas negara.

Begitu pula sebaliknya, turis asing di Indonesia bisa membayar dengan dompet digital dari negaranya tanpa perlu menukar uang tunai.

Menurut Bank Indonesia, kerja sama ini merupakan bagian dari Regional Payment Connectivity (RPC) yang digagas bersama bank sentral negara ASEAN.

Tujuannya efisiensi dan memperkuat kedaulatan finansial regional agar tak terlalu bergantung pada sistem pembayaran global seperti Visa dan Mastercard. Jadi, kalau dulu kita menumpang di sistem milik negara lain, kini kita sedang membangun jalan sendiri.

Tapi apa artinya semua ini buat kita, masyarakat biasa? Jawabannya lebih dari yang terlihat.

Bagi wisatawan, QRIS antarnegara adalah kabar baik, biaya transaksi jadi lebih murah karena tidak lagi terkena biaya konversi kartu internasional, dan nilai tukar bisa langsung otomatis disesuaikan. Tak perlu lagi bawa uang tunai dalam jumlah besar yang rawan hilang atau salah hitung.

Sementara bagi pelaku UMKM ekspor kecil, peluangnya jauh lebih menarik. Bayangkan pedagang batik di Yogyakarta yang mendapat pelanggan dari Malaysia, atau penjual kerajinan Bali yang sering menerima wisatawan Thailand. Kini mereka bisa menerima pembayaran langsung lewat QRIS tanpa repot membuka rekening luar negeri atau platform internasional. Uangnya langsung masuk ke rekening rupiah, tapi tetap tercatat sebagai transaksi lintas negara.

Bank Indonesia mencatat, sejak pilot project diluncurkan bersama Thailand, volume transaksi lintas negara lewat QRIS meningkat secara signifikan.

Pada paruh pertama 2025, transaksi QRIS antarnegara Indonesia–Thailand tumbuh lebih dari 60% dibanding tahun sebelumnya. Menyusul di belakangnya, Malaysia dan Singapura mulai menunjukkan lonjakan serupa.

Namun, tentu saja tidak semua berjalan semulus yang dibayangkan. Tantangan paling nyata adalah perbedaan regulasi dan infrastruktur antarnegara. Setiap negara punya aturan soal privasi data, batas transaksi, dan sistem keamanan yang berbeda.

Belum lagi soal literasi pengguna. Di tingkat konsumen, banyak wisatawan atau pelaku usaha kecil yang belum tahu fitur ini sudah tersedia. Bahkan di beberapa tempat wisata di Indonesia, masih sering kita lihat pedagang menempelkan QRIS hanya untuk transaksi domestik. Padahal, dengan sedikit sosialisasi tambahan, mereka bisa menjaring pembeli dari luar negeri juga.

Menariknya, perkembangan QRIS antarnegara ini juga punya dimensi geopolitik kecil. Negara-negara ASEAN sedang berlomba menjadi pusat ekonomi digital regional.

Singapura tentu sudah lebih dulu melangkah, tapi Indonesia punya keunggulan dari sisi jumlah pengguna dan skala ekonomi. Dengan lebih dari 46 juta merchant QRIS per Juli 2025, Indonesia sebenarnya sedang membangun kekuatan ekonomi berbasis digital yang sulit disaingi.

Dan seperti biasa, kemajuan ini hanya berarti jika manfaatnya benar-benar terasa bagi semua lapisan masyarakat. Karena di ujungnya, digitalisasi bukan soal teknologi, tapi soal manusia yang bisa memanfaatkannya untuk hidup lebih mudah, adil, dan terbuka.

Jadi, Sobat Yoursay, lain kali kamu melihat QR code di meja kafe atau stan pasar malam, jangan anggap itu cuma pola hitam putih di kertas. Itu simbol perubahan besar dan bukti bahwa Indonesia tak lagi hanya jadi pasar bagi inovasi global, tapi mulai jadi pemain di dalamnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak