Fenomena menarik terjadi di Kompleks Parlemen ketika sejumlah influencer dan pegiat media sosial ternama datang bukan untuk membuat konten hiburan, melainkan menyerahkan dokumen “17+8 Tuntutan Rakyat” langsung kepada anggota dewan.
Momen ini menjadi simbol bahwa peran publik figur digital semakin meluas, tidak hanya terbatas pada dunia maya, tetapi juga merambah ke arena politik dan demokrasi. Bukan hanya itu saja, sejumlah artis dan influencer ternama Indonesia juga memasang foto bertema ‘Brave Pink Hero Green’ sebagai simbol melawan dan menyuarakan aspirasinya terhadap kegaduhan yang tengah bergejolak.
Jika biasanya kita melihat mahasiswa, buruh, atau aktivis tradisional yang berdiri di depan gedung DPR, kini generasi yang terbiasa bermain dengan algoritma dan viralitas mengambil posisi yang sama. Kehadiran mereka membuktikan bahwa aspirasi masyarakat kini dapat hadir dalam berbagai bentuk, termasuk melalui jalur populer yang selama ini dikenal sebagai ruang hiburan.
Jajaran influencer yang ikut hadir dan turun di jalan adalah Jerome Polin, Ferry Irwandi, Andovi, Jovial da Lopez hingga Andhyta Firselly Utami.
Keterlibatan influencer dalam aktivisme politik bukanlah hal yang sepele. Mereka memiliki kekuatan unik jaringan audiens yang sangat luas, loyal, dan aktif. Seorang influencer dengan jutaan pengikut dapat menyebarkan isu lebih cepat dibandingkan koran cetak atau orasi di jalanan.
Dampaknya bukan hanya pada kecepatan penyebaran informasi, tetapi juga pada kekuatan membentuk opini publik. Ketika seorang figur populer mengangkat isu serius, publik yang sebelumnya mungkin cuek bisa ikut peduli.
Kehadiran mereka di parlemen menunjukkan bagaimana suara digital dapat bertransformasi menjadi aksi nyata, memperlihatkan kepada DPR bahwa keresahan rakyat kini datang tidak hanya lewat demonstrasi fisik, tetapi juga lewat kekuatan layar ponsel yang kita lihat setiap hari.
Namun, langkah ini tentu menimbulkan perdebatan. Sebagian orang menganggapnya hanya sebagai aksi simbolis atau bahkan sekadar strategi untuk meningkatkan popularitas. Akan tetapi, jika dipahami lebih dalam, tindakan ini merefleksikan wajah baru demokrasi di era media sosial.
Aktivisme tidak lagi dimonopoli kelompok tertentu, melainkan menjadi ruang yang bisa diisi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki kedekatan dengan generasi muda melalui konten digital. Dokumen “17+8 Tuntutan Rakyat” sendiri bukan hanya selembar kertas formal, melainkan cerminan keresahan nyata masyarakat yang difasilitasi oleh figur-figur dengan pengaruh besar.
Hal ini membuat dewan tidak bisa memandangnya sebelah mata. Apa yang dilakukan para influencer ini memperlihatkan bahwa aktivisme masa kini adalah kombinasi antara substansi, simbol, dan kekuatan viral.
Bahkan disadur dari laman Suara.com pada Jumat (5/9/2025), Andre Rosiade, selaku DPR RI juga menyebutkan bahwa “DPR sangat terbuka terhadap seluruh aspirasi masyarakat”. Jadi, kemungkinan besar, semua aspirasi dan tuntutan rakyat akan segera dijalankan dan ditampung oleh DPR RI.
Peristiwa ini akhirnya menegaskan bahwa demokrasi Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih dinamis. Generasi muda melihat politik tidak lagi sebatas urusan elite atau ruang formal, melainkan juga arena ekspresi sosial yang bisa diwarnai dengan gaya komunikasi digital.
Dengan influencer yang turun langsung membawa tuntutan, kita menyaksikan babak baru aktivisme di mana feed Instagram, cuitan Twitter, hingga video YouTube dapat menjadi medium perjuangan rakyat.
Era baru ini membuka peluang sinergi antara gerakan tradisional dan kekuatan digital. Pada akhirnya, perubahan sosial dan politik bisa lahir dari mana saja, baik dari jalanan yang penuh spanduk maupun dari layar ponsel yang selalu ada di genggaman kita.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS