Budaya Trial and Error dalam Kabinet Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Budaya Trial and Error dalam Kabinet Indonesia
Pelantikan empat jabatan menteri dan satu wakil menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/9/2025). (Instagram/kemensetneg.ri)

Di Indonesia, reshuffle kabinet selalu jadi tontonan politik paling ditunggu. Setiap kali isu ini muncul, media langsung penuh dengan spekulasi, siapa yang tersingkir, siapa yang naik, siapa yang dapat “hadiah” kursi.

Padahal, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan yang jarang dibahas, apakah reshuffle ini benar-benar memperbaiki arah pemerintahan, atau hanya sekadar ritual trial and error yang sudah jadi budaya politik kita?

Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), reshuffle kabinet hampir jadi kebiasaan rutin. Saat ada kritik publik, saat ada kasus korupsi, atau sekadar menurunkan tensi politik, reshuffle jadi solusi.

Memang, beberapa pergantian terbukti efektif, seperti masuknya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan di periode awal SBY yang mengembalikan kepercayaan pasar. Tapi di banyak kasus lain, reshuffle hanya menggeser masalah dari satu meja ke meja lain. Tidak ada perubahan mendasar.

Lalu datang era Joko Widodo. Presiden yang terkenal dengan istilah “blusukan” ini juga sering mengutak-atik kabinetnya. Jokowi bahkan dikenal lebih spontan, ketika ada menteri yang dianggap kurang gesit, langsung diganti.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) dan pejabat lama Sri Mulyani Indrawati saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (kiri) dan pejabat lama Sri Mulyani Indrawati saat serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Beberapa reshuffle, seperti masuknya Sri Mulyani kembali di periode Jokowi, memang menimbulkan efek positif. Tapi di sisi lain, publik juga melihat bahwa reshuffle lebih sering dipakai sebagai respons politik jangka pendek, bukan sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat kualitas tata kelola pemerintahan.

Kini di era Prabowo Subianto, budaya reshuffle tampaknya masih berlanjut. Baru setahun berjalan, reshuffle besar sudah diumumkan. Beberapa menteri diganti, kementerian baru dibentuk.

Publik lalu kembali terjebak dalam drama nama-nama siapa yang naik, siapa yang turun, dan siapa yang tersingkir. Namun jarang ada yang membongkar kenapa setiap kali ada tekanan politik, jawabannya selalu reshuffle? Apakah sistem kita begitu rapuh hingga hanya bisa diatasi dengan gonta-ganti kursi?

Budaya trial and error ini punya konsekuensi serius. Pertama, konsistensi kebijakan jadi korban. Bayangkan saja, setiap kali menteri baru masuk, biasanya ia membawa gaya kepemimpinan baru, staf baru, bahkan prioritas baru.

Kebijakan yang sudah disusun bisa berubah haluan hanya karena selera politik atau personalitas menteri yang berbeda. Akibatnya, program jangka panjang sering mandek di tengah jalan.

Ambil contoh di bidang ekonomi. Setiap kali terjadi pergantian Menteri Keuangan atau Menteri Ekonomi, pasar selalu resah. Bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi itu, tapi karena arah kebijakan bisa bergeser drastis.

Hal yang sama juga terjadi di bidang pendidikan. Dari era SBY ke Jokowi, kita menyaksikan betapa sering kurikulum diubah. Alasannya macam-macam, tapi salah satunya karena pergantian menteri membawa kebijakan baru. Hasilnya? Guru dan murid jadi kelinci percobaan dari sistem trial and error yang tak ada habisnya.

Kedua, reshuffle sering kali lebih berorientasi pada konsolidasi politik ketimbang penyelesaian masalah. Kursi menteri dijadikan alat tawar-menawar untuk menjaga stabilitas koalisi.

Jadi, alih-alih menilai berdasarkan kapasitas dan rekam jejak, yang lebih penting adalah afiliasi politik dan loyalitas pada presiden. Akhirnya, publik pun mempertanyakan apakah reshuffle untuk memperbaiki kinerja, atau sekadar bagi-bagi kue kekuasaan?

Ketiga, ada dampak psikologis ke masyarakat. Rakyat sering diberi narasi bahwa reshuffle adalah solusi cepat untuk memperbaiki keadaan. Padahal, publik sudah paham kalau mengganti orang bukan berarti otomatis mengganti sistem.

Kalau birokrasi masih gemuk, kalau transparansi anggaran masih rendah, kalau DPR dan pemerintah masih saling sandera, siapa pun yang duduk di kursi menteri akan tetap tersandera oleh struktur yang sama.

Lalu kenapa budaya reshuffle ini bertahan begitu lama? Jawabannya mungkin karena sistem politik kita lebih menekankan stabilitas kekuasaan ketimbang konsistensi kebijakan.

Presiden butuh menjaga keseimbangan dengan partai politik, sementara partai politik butuh kursi menteri untuk memperkuat basisnya. Maka, reshuffle jadi jalan tengah yang mudah, masalah redam, koalisi aman, dan citra publik terjaga.

Tapi terkadang kita lupa harga yang harus dibayar, yaitu pembangunan jangka panjang jadi terabaikan. Satu periode pemerintahan bisa habis hanya untuk bongkar-pasang menteri, tanpa ada legacy kebijakan yang benar-benar berkelanjutan.

Mungkin sudah waktunya kita mengubah paradigma. Daripada menjadikan reshuffle sebagai solusi instan, lebih penting membangun sistem yang tahan banting, seperti perekrutan menteri berbasis kompetensi, transparansi dalam penilaian kinerja, dan keberanian untuk mengurangi intervensi politik dalam kabinet. Kalau tidak, budaya trial and error ini hanya akan terus mengulang lingkaran setan yang sama.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak