Timnas Gagal Lagi: Proses Tanpa Arah dan Suporter yang Semakin Lelah

Sekar Anindyah Lamase | Rana Fayola R.
Timnas Gagal Lagi: Proses Tanpa Arah dan Suporter yang Semakin Lelah
Pesepak bola Timnas Indonesia U-23 Robi Darwis (kiri) memberi semangat penjaga gawang Cahya Supriadi (kanan) seusai melawan Timnas Korea Selatan U-23 dalam kualifikasi Grup J Piala Asia U-23 2026 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (9/9/2025). [ANTARA FOTO/Umarul Faruq/rwa]

Dalam beberapa tahun terakhir, Timnas Indonesia telah menuai perhatian. Baik karena perkembangan positif yang sempat ditunjukkan, maupun berbagai dinamika internal yang mengganggu konsistensi. Kata 'proses' menjadi istilah yang akrab di telinga para suporter yang diminta bersabar setiap kali hasil kurang memuaskan muncul.

Namun, pertanyaan besar kini mengemuka: sampai kapan publik harus memahami proses itu. Apalagi jika yang menghambat adalah keputusan-keputusan yang mengulang kesalahan lama?

Misalnya adalah Timnas Indonesia U-23 yang baru saja gagal lolos ke Piala Asia U-23 2026 setelah dikalahkan Korea Selatan 0-1 di laga terakhir Grup J. Kekalahan tersebut membuat Garuda Muda hanya menempati posisi kedua klasemen akhir. Sayangnya, ini tidak cukup untuk mengamankan tiket ke putaran final karena hanya juara grup dan beberapa runner up terbaik yang lolos.

Yang membuat publik semakin kecewa adalah karena capaian Timnas Indonesia U-23 sempat berada di titik tinggi saat masih ditangani Shin Tae-yong (STY). Di bawah kepemimpinan STY, Indonesia menembus semifinal Piala Asia U-23 2024, pencapaian historis yang menjadi harapan baru bagi masa depan sepak bola nasional. Tapi semua itu berubah saat STY tidak lagi menjadi pelatih awal 2025.

Gerald Vanenburg yang menggantikan STY jelas tidak berada dalam posisi mudah. Ia mewarisi tim yang sedang dalam fase transisi, diisi banyak pemain muda baru yang naik dari kelompok usia U-20. Persiapan yang minim serta hilangnya pemain kunci dari era STY membuat racikan Vanenburg belum bisa maksimal. Bahkan, Vanenburg sendiri mengakui perbedaan signifikan dalam waktu persiapan dan kualitas skuad yang dia tangani.

Di tengah situasi tersebut, suporter pun meluapkan rasa kecewa mereka. Dalam beberapa pertandingan, masih terdengar nyanyian memanggil nama STY, sebuah sinyal kuat bahwa kehadirannya sangat dirindukan, terutama karena kesuksesannya dalam membangun pondasi yang solid dan arah permainan yang jelas.

Ganggu Proses yang Berjalan dengan Ganti Pelatih, PSSI Harus Tanggung Jawab

Perubahan pelatih di tengah jalan membuat apa yang disebut sebagai proses itu justru kehilangan kesinambungan. Ketika STY berhasil membentuk tim dengan identitas dan disiplin kuat, pergantian ke Vanenburg dianggap sebagai langkah mundur yang diputuskan secara tergesa.

Tak heran jika PSSI mendapat sorotan tajam. Tak sedikit yang menilai bahwa permasalahan Timnas bukan hanya pada siapa pelatihnya, melainkan lebih pada pola pikir dan kebijakan yang diambil federasi. Mengganti pelatih tanpa pertimbangan keberlanjutan dianggap membahayakan proses regenerasi yang sedang berjalan.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa PSSI belum menunjukkan konsistensi dalam membangun sistem pembinaan yang berkelanjutan. Banyak pihak menilai, jika federasi ingin memetik hasil jangka panjang, maka kontinuitas dalam program dan pelatih harus menjadi prioritas, bukan hanya hasil instan yang diburu tanpa pondasi kokoh.

Kondisi serupa juga terjadi di level Timnas senior. Setelah ditinggal STY, Timnas mengalami penurunan performa di bawah pelatih baru, Patrick Kluivert. Catatan buruk di Piala AFF 2024, serta kegagalan menjaga performa stabil, menambah daftar panjang kritik terhadap keputusan PSSI dalam melakukan pergantian pelatih.

Padahal ketika STY masih menjabat, Timnas senior mencatat berbagai pencapaian gemilang. Dari lolos ke Piala Asia pertama kali dalam 16 tahun, melaju ke fase ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, hingga menembus final Piala AFF dan mencatatkan peningkatan peringkat FIFA dari 174 ke 127.

Kini, hasil-hasil negatif yang kembali terjadi bukan hanya membuat kecewa, tapi juga membuyarkan optimisme yang telah lama dibangun. Kembali ke titik awal membuat suporter bertanya-tanya: seberapa jauh lagi kita harus bersabar?

Jika sebelumnya publik bisa memahami dan ikut mendukung proses pembangunan yang dijalankan STY, kini dukungan itu mulai mengikis karena proses tersebut dianggap terganggu oleh keputusan yang tidak konsisten. Proses seharusnya tidak menjadi tameng untuk setiap kegagalan, apalagi jika kegagalan itu hasil dari keputusan yang tidak terencana.

Maka, pertanyaan yang wajar dan terus digaungkan oleh publik adalah: sampai kapan harus maklum? Karena suporter Timnas Indonesia bukan sekadar penonton, mereka adalah bagian dari semangat yang ikut menjaga nyala perjuangan Garuda. Tapi ketika harapan selalu diminta bersabar tanpa arah yang jelas, batas kesabaran itu pun bisa habis.

Sepak bola bukan hanya soal kemenangan, tapi juga soal arah dan konsistensi. Timnas Indonesia sudah memiliki modal besar dari era Shin Tae-yong, namun kegagalan menjaga kontinuitas proses membuat langkah kita kembali tersendat. Suporter boleh diminta bersabar, tapi kesabaran pun ada batasnya jika tidak dibarengi dengan transparansi dan kebijakan yang berpihak pada pembangunan jangka panjang. Jika proses terus diulang dari nol, maka kapan kita akan menuai hasil nyata?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak