suara hijau

Dari Pinggir Pesisir: Kisah Perempuan Nelayan yang Suaranya Sering Tak Didengar

Bimo Aria Fundrika | Angelia Cipta RN
Dari Pinggir Pesisir: Kisah Perempuan Nelayan yang Suaranya Sering Tak Didengar
Ilustrasi Nelayan Perempuan (pexels/Long Ba Mui)

Perempuan pesisir sering digambarkan hanya sebagai sosok yang menunggu—menunggu suami pulang, menunggu kabar, menunggu rezeki. Tapi kenyataannya jauh lebih besar dari itu.

Di banyak kampung pesisir, perempuan tidak sekadar menunggu.  Mereka bergerak, bekerja, dan menjaga kehidupan tetap berjalan.

Mereka adalah penopang sunyi yang menjaga keluarga nelayan tetap berdiri. Realitas yang mereka hadapi jauh lebih keras dari apa yang terlihat, namun suara mereka sering hilang, tenggelam oleh gemuruh ombak dan cerita besar tentang para lelaki di laut.

Perempuan yang Menghidupkan Pesisir Antara Tangan Kasar dan Ketangguhan yang Dipupuk Kesunyian

Jika ingin tahu seberapa keras kehidupan pesisir, lihatlah telapak tangan perempuan nelayan. Kasar, retak, dan menghitam bukan karena kurang dirawat, tetapi karena setiap hari harus berhadapan dengan garam, angin laut, dan ikan yang harus dibersihkan sebelum subuh.

Banyak perempuan bangun ketika orang lain masih tenggelam dalam mimpi. Mereka membersihkan ikan, menjemur hasil tangkapan, mengolahnya menjadi pindang atau ikan asin, lalu mengangkutnya ke pasar tanpa mengeluh.

Tetapi kerja keras mereka sering dianggap sekadar membantu. Istilah yang seolah mengecilkan kontribusi yang sebenarnya menopang setengah ekonomi pesisir. Di banyak daerah, pendapatan keluarga justru bertahan berkat tangan perempuan yang mengolah hasil laut ketika suami pulang tanpa hasil.

Laut yang semakin sulit ditebak membuat penghasilan nelayan tidak menentu. Di sinilah perempuan mengambil alih peran ekonomi secara diam-diam mereka yang memastikan dapur tetap mengepul.

Namun beban perempuan pesisir bukan hanya ekonomi. Mereka juga mengemban kecemasan paling sunyi kecemasan menunggu suami pulang dari laut. Gelombang besar, mesin perahu rusak, cuaca buruksemua itu menjadi bayang-bayang yang tidak pernah hilang.

Tidak ada asuransi yang betul-betul melindungi, tidak ada jaminan keselamatan yang pasti. Ketika perahu tampak terlalu lama di cakrawala, perempuan pesisir adalah orang pertama yang memeluk ketakutan itu tanpa bisa membaginya.

Ketidakadilan Struktural Bekerja Dua Kali Lebih Berat, Mendapat Pengakuan Separuhnya

Kisah perempuan nelayan adalah kisah tentang kerja yang tidak dianggap sebagai kerja. Mereka memikul beban ganda domestik dan ekonominamun tetap tidak diakui dalam data formal.

Mereka jarang tercatat sebagai pekerja. Mereka tidak masuk dalam sistem bantuan nelayan. Nama mereka tidak ada di kartu nelayan, tidak bisa mengakses subsidi bahan bakar, teknologi, maupun program pemberdayaan.

Ironisnya, ketika harga ikan jatuh atau cuaca buruk membuat nelayan tidak melaut, perempuan menjadi sumber pendapatan utama lewat keterampilan mengolah hasil laut.

Tetapi ketika pemerintah membicarakan pemberdayaan nelayan, perempuan jarang masuk prioritas. Mereka seolah hanya latar belakang dari drama besar pesisir, padahal tanpa mereka, ekonomi pesisir tidak berjalan.

Ketika pariwisata berkembang di beberapa daerah, perempuan kembali berada di posisi rentan. Mereka bekerja lebih panjang menginapakan tamu, menyiapkan makanan, menyediakan jasa lokaltetapi jarang menerima bagian keuntungan sebanding. Beban meningkat, tetapi kesejahteraan tetap stagnan.

Dan ketika laut rusak akibat industri besar, reklamasi, atau pencemaran, perempuan adalah kelompok pertama yang merasakan dampaknya.

Mereka kehilangan bahan mentah untuk diolah, kehilangan pasar, kehilangan ritme kerja yang sudah bertahun-tahun mereka jalani. Tetapi suara mereka tidak pernah masuk rapat-rapat besar yang membahas masa depan pesisir.

Perempuan Pesisir Bukan Objek Kasihan Mereka Agen Perubahan yang Selama Ini Dihalangi

Masyarakat sering melihat perempuan nelayan sebagai pihak yang harus dibantu, bukan pihak yang punya kapasitas besar untuk memimpin perubahan. Padahal yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, melainkan ruang untuk bersuara, akses terhadap alat produksi, dan kebijakan yang berpihak.

Banyak inisiatif kecil yang lahir dari kreatifitas perempuan pesisir, koperasi rumahan, kelompok pengolah ikan, usaha kerajinan berbahan limbah laut, hingga wisata edukasi.

Tetapi semua ini berjalan dengan modal seadanya dan hampir tanpa dukungan struktural. Padahal jika diberi pelatihan, akses modal, dan pengakuan legal, mereka bisa menjadi motor ekonomi pesisir yang jauh lebih stabil dibanding mengandalkan hasil tangkapan semata.

Lebih dari itu, perempuan pesisir memiliki visi jauh ke depan tentang keberlanjutan laut. Mereka tahu kapan ikan mulai sulit didapat, tahu perubahan musim, tahu kapan ekosistem terganggu.

Pengetahuan mereka seharusnya menjadi bagian dari pengambil keputusan. Tetapi budaya patriarkis membuat pengetahuan itu dianggap sekadar insting perempuan, padahal itu adalah data ekologis yang terbukti akurat.

Pada akhirnya, kehidupan perempuan nelayan adalah cermin dari ketidakadilan yang kita biarkan tumbuh. Mereka bekerja keras tanpa pengakuan, menanggung kecemasan tanpa perlindungan, dan menopang ekonomi tanpa dihitung sebagai bagian dari struktur formal.

Kita tidak butuh narasi heroik untuk menggambarkan mereka, karena mereka sudah heroik sejak lamakita hanya perlu berhenti mengaburkan keberadaan mereka.

Jika ingin pesisir yang kuat, maka kita harus mulai melihat perempuan bukan sebagai bayangan di tepi pantai, tetapi sebagai aktor utama yang selama ini bekerja dalam senyap. Perubahan pesisir tidak akan datang dari ombak besarperubahan itu sedang diperjuangkan setiap hari oleh tangan-tangan perempuan yang tidak pernah berhenti bergerak.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak