Wajah Korupsi Indonesia 2025: Dari Chromebook, Pertamina, hingga Kuota Haji

Hikmawan Firdaus | Akrima Amalia
Wajah Korupsi Indonesia 2025: Dari Chromebook, Pertamina, hingga Kuota Haji
Ilustrasi korupsi(Unsplash/Jesus Monroy Lazcano)

Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Sejak era reformasi hingga hari ini, berita tentang pejabat yang ditangkap, proyek yang dibatalkan, atau kerugian negara yang membengkak selalu muncul silih berganti. Tahun 2025 pun ternyata tidak membawa angin segar.

Publik kembali dikejutkan oleh sederet kasus besar dengan nilai kerugian fantastis. Dari pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, dugaan manipulasi impor bahan bakar Pertamina, hingga kisruh kuota haji tambahan, semuanya memperlihatkan satu benang merah: korupsi kita sudah terlalu sistemik.

Chromebook: Digitalisasi Pendidikan yang Jadi Ajang Bancakan

Ilustrasi digitalisasi pendidikan(Unsplash/Ilya Sonin)
Ilustrasi digitalisasi pendidikan(Unsplash/Ilya Sonin)

Beberapa tahun lalu, pengadaan 1,2 juta unit Chromebook sempat dielu-elukan sebagai tonggak baru digitalisasi pendidikan Indonesia. Laptop murah buatan pabrikan global itu diproyeksikan bisa mempersempit kesenjangan teknologi antara sekolah kota dan desa. Anak-anak di pelosok diharapkan bisa ikut mencicipi pembelajaran digital seperti kawan-kawan mereka di perkotaan.

Sayangnya, harapan itu berubah menjadi kekecewaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi mark-up, pengaturan tender, hingga manipulasi dokumen. Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim pun ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,98 triliun dari proyek senilai Rp9,9 triliun.

Bayangkan, alih-alih membuka akses pengetahuan, proyek ini justru membuka jalan bagi elite birokrasi untuk memperkaya diri. Chromebook yang mestinya jadi "jendela dunia" bagi siswa, malah berubah jadi jendela menuju rekening pribadi segelintir orang. Publik wajar kecewa, sebab yang dirugikan bukan hanya negara, tetapi juga generasi muda yang kehilangan kesempatan belajar lebih baik.

Pertamina: Minyak yang Tumpah Jadi Korupsi

Ilustrasi kilang minyak(Unsplash/Michael Pointner)
Ilustrasi kilang minyak(Unsplash/Michael Pointner)

Kalau kasus Chromebook menyakitkan hati karena menyangkut pendidikan anak-anak, kasus Pertamina lebih bikin dada sesak karena melibatkan aset vital negara. Investigasi terbaru mengungkap adanya manipulasi impor bahan bakar yang diperkirakan merugikan negara hingga US$12 miliar atau sekitar Rp197 triliun. Angka yang bahkan sulit dibayangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Skandal migas ini disebut-sebut sebagai salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Bayangkan saja, Rp197 triliun setara dengan membangun ribuan sekolah baru, membiayai jutaan beasiswa, atau memperbaiki infrastruktur di seluruh pelosok negeri. Tetapi uang sebesar itu justru hilang karena keserakahan segelintir orang.

Kasus Pertamina juga menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan sekadar soal amplop di bawah meja. Ini permainan kelas kakap, melibatkan eksekutif perusahaan besar, jaringan politik, hingga mafia internasional. Minyak yang seharusnya menghidupi rakyat justru menjadi bahan bakar korupsi.

Kuota Haji: Ketika Ibadah Pun Tak Lepas dari Korupsi

Ilustrasi ibadah haji di Makkah(Unsplash/Sam Riz)
Ilustrasi ibadah haji di Makkah(Unsplash/Sam Riz)

Tidak kalah ironis, publik juga dibuat geram dengan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penambahan kuota haji 2024. KPK menemukan adanya praktik tidak transparan yang diperkirakan merugikan negara lebih dari Rp1 triliun.

Kasus ini terasa menyakitkan karena menyangkut ibadah. Haji adalah rukun Islam kelima, ibadah yang dinanti seumur hidup oleh banyak umat Muslim Indonesia. Namun dalam praktiknya, ada oknum pejabat yang menjadikan kuota haji sebagai komoditas. Mereka bermain-main dengan antrean panjang dan kerinduan spiritual jutaan jamaah demi keuntungan pribadi.

Agama yang seharusnya menjadi ruang suci dari praktik kotor malah dijadikan tameng. Ini menambah luka masyarakat yang sudah lelah dengan berbagai skandal korupsi.

Benang Merah: Korupsi yang Sistemik

Ilustrasi gedung parlemen(Unsplash/DinoJanuarsa)
Ilustrasi gedung parlemen(Unsplash/DinoJanuarsa)

Ketiga kasus besar ini menunjukkan pola yang sama. Kekuasaan melahirkan proyek, proyek membuka celah manipulasi, manipulasi berujung pada kerugian negara, dan akhirnya rakyatlah yang menjadi korban.

Kita tidak bisa lagi melihat korupsi sebagai perilaku individu yang "nakal". Masalahnya sudah sistemik. Dari pengadaan teknologi, energi, hingga pengelolaan ibadah, semuanya bisa berubah menjadi ladang uang. Sistem birokrasi yang tidak transparan, mekanisme tender yang rentan diatur, hingga lemahnya pengawasan membuat praktik busuk ini terus berulang.

Lebih parah lagi, hukuman terhadap koruptor sering kali tidak menimbulkan efek jera. Vonis ringan, remisi, hingga fasilitas mewah di penjara memperlihatkan betapa lunaknya negara terhadap pencuri uang rakyat. Tidak heran kalau publik semakin pesimis bahwa korupsi bisa diberantas.

Harapan di Tengah Keletihan

Ilustrasi bola kaca (Unsplash/DrewBeamer)
Ilustrasi bola kaca (Unsplash/DrewBeamer)

Meski begitu, menyerah bukan pilihan. Korupsi tidak bisa diberantas hanya dengan penangkapan satu-dua orang. Diperlukan reformasi menyeluruh:

  • Transparansi anggaran dan proyek publik harus menjadi standar, bukan pengecualian.
  • Penguatan lembaga pengawas seperti KPK, BPK, dan Ombudsman, dengan jaminan independensi penuh dari intervensi politik.
  • Partisipasi publik dalam mengawasi anggaran, termasuk melalui platform digital yang mudah diakses masyarakat.
  • Pendidikan antikorupsi sejak dini agar generasi mendatang punya kesadaran moral lebih kuat.
  • Korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal budaya. Jika budaya permisif terhadap praktik kotor masih dibiarkan, kasus demi kasus akan terus bermunculan.

Tahun 2025 kembali mengingatkan kita bahwa korupsi belum pergi jauh. Dari Chromebook yang merampas harapan siswa, Pertamina yang menguras energi bangsa, hingga kuota haji yang mencederai ibadah, semua membuktikan bahwa penyakit ini masih mengakar.

Pergantian rezim dan menteri tidak otomatis membawa perubahan. Publik menunggu langkah nyata, bukan sekadar headline sesaat. Korupsi harus diberantas dari akar, jika tidak, kita akan terus hidup dalam lingkaran yang sama: pejabat korup, rakyat menanggung, negara rugi besar.

Pertanyaannya kini bukan lagi "siapa yang korupsi?", melainkan sampai kapan kita mau membiarkannya?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak