Bullying Bukan Drama Anak Sekolah, Tetapi Luka yang Menempel Sampai Dewasa

Hayuning Ratri Hapsari | Akrima Amalia
Bullying Bukan Drama Anak Sekolah, Tetapi Luka yang Menempel Sampai Dewasa
Ilustrasi bullying (Unsplash/nouh loukili)

Bullying sering kali dianggap sebagai "drama anak sekolah" yang akan hilang seiring waktu. Banyak orang dewasa masih menyepelekan perundungan dengan mengatakan, "Namanya juga anak-anak," atau "Nanti juga lupa sendiri".

Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Luka akibat bullying justru sering menetap, tumbuh bersama seseorang, dan ikut memengaruhi bagaimana ia melihat diri sendiri, berinteraksi dengan orang lain, hingga menjalani hidup sebagai orang dewasa.

Perilaku Bullying dan Dampaknya

Ilustrasi dampak bullying, seorang anak korban bullying memendam tekanan sendiri (Unsplash/Zhivko Minkov)
Ilustrasi dampak bullying, seorang anak korban bullying memendam tekanan sendiri (Unsplash/Zhivko Minkov)

Menurut UNICEF Indonesia, perundungan bukan hanya perilaku saling mengejek, tetapi rangkaian tindakan yang disengaja untuk menyakiti. Baik secara fisik, verbal, maupun sosial.

Dampaknya tidak hanya terasa saat kejadian berlangsung, tetapi juga memengaruhi perkembangan emosional, kemampuan bersosialisasi, dan kesehatan mental dalam jangka panjang.

UNICEF menegaskan bahwa bullying dapat mengurangi rasa aman anak di lingkungan sekolah, memicu kecemasan, bahkan memengaruhi motivasi belajar.

Hal yang sering tidak disadari adalah bagaimana jejak bullying terus menempel hingga dewasa. Laporan dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa korban bullying ketika kecil memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan kronis, hingga kesulitan membangun hubungan interpersonal.

Bahkan, sebagian besar dari mereka cenderung tumbuh dengan rasa takut disalahpahami, sulit percaya pada orang lain, atau merasa diri tidak pantas mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

Kini, semakin banyak orang dewasa mulai menyadari bahwa beberapa respons emosional mereka seperti mudah cemas, takut bersuara, atau selalu mencoba menyenangkan semua orang ternyata berakar dari pengalaman bullying yang tidak pernah ditangani.

Dalam laporan Kementerian Kesehatan RI, disebutkan bahwa korban perundungan cenderung mengembangkan pola komunikasi tidak asertif, menarik diri dari lingkungan sosial, atau mengalami self-esteem rendah.

Ketika pengalaman ini tidak disadari, seseorang dapat terjebak dalam lingkaran hubungan yang tidak sehat, pekerjaannya terganggu, hingga mengalami burnout tanpa tahu penyebabnya.

Bullying juga tidak hanya terjadi dalam bentuk yang terlihat. Ada yang berupa komentar soal fisik, diejek karena tubuh gemuk atau kurus, warna kulit, atau cara bicara.

Ada pula bentuknya dikucilkan oleh kelompok pertemanan, sengaja tidak diajak, atau dijadikan bahan candaan terus-menerus. Dalam konteks sekolah, hal-hal ini mungkin dianggap remeh atau "bumbu pertemanan", padahal dampaknya bisa sangat serius.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan fisik maupun nonfisik di lingkungan pendidikan masih termasuk kategori tinggi, dengan banyak korban yang tidak berani melapor karena takut masalah makin besar.

Di era digital, bullying bahkan lebih berbahaya karena jejaknya sulit dihapus. Cyberbullying dapat terjadi melalui komentar media sosial, chat grup, atau unggahan anonim.

Data UNICEF menunjukkan bahwa anak dan remaja yang mengalami cyberbullying memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan mental. Selain itu, sifatnya yang "tidak terlihat" oleh orang tua atau guru sering membuat korban memendam tekanan sendirian.

Pentingnya Menciptakan Safe Space

Ilustrasi safe space, ibu dan anak saling bercerita dan mendengarkan (Unsplash/Vitaly Gariev)
Ilustrasi safe space, ibu dan anak saling bercerita dan mendengarkan (Unsplash/Vitaly Gariev)

Inilah alasan mengapa penting menciptakan safe space. Ruang aman di mana seseorang bisa bersuara tanpa dihakimi. Ruang aman bukan hanya tentang menyediakan tempat curhat, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang merasa dihargai, dilindungi, dan diperlakukan setara.

Menurut UN Women, safe space mendorong keberanian untuk berbicara, mengurangi rasa takut, dan membantu proses penyembuhan dari trauma.

Safe space bisa dimulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga. Orang tua perlu mendengarkan tanpa menganggap remeh, tidak menyalahkan, dan menciptakan komunikasi dua arah.

Di sekolah, guru dan tenaga pendidik perlu membangun budaya anti-bullying dengan sistem pelaporan yang benar-benar berpihak pada korban.

Komunitas dan media sosial juga memegang peran penting dengan mengedukasi, menjadi saksi yang aktif (active bystander), serta menghentikan budaya normalisasi perundungan.

Pada akhirnya, bullying bukan sekadar kenangan masa sekolah yang bisa dilupakan. Ia adalah luka yang menempel, membentuk cara seseorang bertumbuh, dan menentukan apakah ia merasa aman menjadi dirinya sendiri.

Karena itu, penting bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah, lebih mendukung, dan lebih aman. Sebab ruang aman bukan hanya tentang tempat, tetapi tentang sikap.

Safe space dimulai dari kita. #SafeSpaceStartWithYou

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak