Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?

Hikmawan Firdaus | Akrima Amalia
Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?
Ilustrasi menghitung uang.(Unsplash/Alexander Grey)

Dulu, gaji Rp10 juta sebulan terdengar seperti mimpi indah. Angka dua digit dengan banyak nol di belakangnya kerap menjadi patokan "hidup mapan" di kota besar. Namun, belakangan, narasi itu mulai bergeser. Dengan harga kos yang semakin naik, cicilan rumah atau apartemen yang tidak ramah, ditambah kebutuhan harian yang serba mahal, Rp10 juta bisa habis lebih cepat daripada kedipan mata di tanggal tua.

Makanya, ketika pemerintah mengumumkan pembebasan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja bergaji di bawah Rp10 juta, banyak orang langsung lega. Gaji utuh tanpa potongan? Tentu saja terdengar manis. Tetapi benarkah ini solusi, atau hanya sekadar hiburan sementara?

Apa sih maksudnya "bebas pajak"?

Ilustrasi menghitung pajak(Unsplash/Kelly Sikkema)
Ilustrasi menghitung pajak(Unsplash/Kelly Sikkema)

Sederhananya, pemerintah menanggung pajak penghasilan (PPh 21) karyawan yang bergaji maksimal Rp10 juta per bulan. Artinya, kalau sebelumnya gaji kita dipotong pajak, mulai Januari 2025, gaji bisa cair full tanpa potongan (asal memenuhi syarat).

Tetapi, ada catatan penting: kebijakan ini tidak otomatis berlaku untuk semua pekerja. Awalnya, hanya pekerja di sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, hingga furnitur yang bisa menikmatinya. Per September 2025, sektor pariwisata seperti hotel, restoran, kafe (horeka) juga ikut dilibatkan. Jadi, kalau perusahaanmu tidak masuk dalam kategori itu, jangan harap dompetmu langsung gemuk.

Gaji full, tetapi apakah benar-benar terasa?

Ilustrasi dompet kosong(Unsplash/ Emil Kalibradov)
Ilustrasi dompet kosong(Unsplash/ Emil Kalibradov)

Mari bicara angka. Katakanlah seseorang dengan gaji Rp7 juta biasanya dipotong pajak sekitar Rp200 ribu per bulan. Dengan kebijakan ini, ia bisa menerima tambahan Rp200 ribu utuh. Lumayan, bisa untuk isi bensin atau belanja mingguan.

Tetapi apakah itu mengubah kondisi hidup? Mungkin iya, mungkin tidak. Tambahan Rp200–400 ribu per bulan tentu membantu, tetapi inflasi yang merayap tiap tahun sering kali menggerus nilai "bonus" ini. Harga kebutuhan pokok, biaya kesehatan, dan ongkos pendidikan tetap jalan sendiri, tidak bisa ditawar.

Jadi, bebas pajak memang membuat gaji terlihat lebih utuh, tetapi efeknya bisa jadi hanya terasa sebentar, seperti gula-gula manis yang cepat larut.

Siapa yang diuntungkan, siapa yang terlewat?

Ilustrasi pekerja serabutan(Unsplash/Ajin K S)
Ilustrasi pekerja serabutan(Unsplash/Ajin K S)

Kebijakan ini jelas meringankan beban sebagian pekerja formal. Tetapi bagaimana dengan mereka yang bekerja di sektor informal? Ojol, pedagang kecil, penulis lepas, desainer freelance, sampai UMKM yang sering kali penghasilannya tidak menentu, tentu tidak bisa menikmati fasilitas ini.

Padahal, kalau bicara soal daya beli dan kebutuhan mendesak, mereka tidak kalah berat bebannya. Ironisnya, kelompok pekerja informal sering kali justru yang paling butuh perlindungan kebijakan ekonomi.

Manis, tetapi bisa menjadi kosmetik ekonomi?

Ilustrasi gula putih(Unsplash/Jason)
Ilustrasi gula putih(Unsplash/Jason)

Mari kita jujur: kebijakan pembebasan pajak ini memang manis, tetapi jangan sampai hanya menjadi kosmetik untuk menutup luka ekonomi yang lebih dalam.

Masalah utama pekerja di Indonesia bukan semata potongan pajak, melainkan upah minimum yang belum sebanding dengan biaya hidup layak. Menurut survei Bank Dunia, biaya hidup di kota besar bisa jauh melampaui UMP. Sehingga, meski ada pembebasan pajak, banyak pekerja tetap harus jungkir balik mengatur uang agar cukup sampai akhir bulan.

Selain itu, ada risiko kebijakan ini hanya menjadi "stimulus politik" jangka pendek. Bebas pajak memang menyenangkan, tetapi tanpa perbaikan sistem upah, jaminan sosial, dan pengendalian harga, manfaatnya bisa cepat hilang ditelan realitas.

Jadi, kado manis atau ilusi?

Ilustrasi kado kecil(Unsplash/Ubaid E. Alyafizi)
Ilustrasi kado kecil(Unsplash/Ubaid E. Alyafizi)

Bisa jadi dua-duanya. Bagi pekerja formal bergaji menengah yang masuk kriteria, pembebasan pajak ini terasa seperti kado kecil dari pemerintah. Uang ekstra untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, bagi mereka yang berada di luar lingkaran kebijakan, bebas pajak tidak lebih dari ilusi manis yang hanya bisa ditatap dari jauh.

Mungkin, kebijakan ini bisa kita sambut dengan syukur sekaligus skeptis. Syukur, karena setiap tambahan rupiah tentu berarti. Skeptis, karena kue kesejahteraan seharusnya dibagi lebih merata dan menyentuh mereka yang paling membutuhkan.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan hanya gaji tanpa potongan, tetapi juga gaji yang cukup untuk hidup layak. Karena percuma gaji Rp10 juta utuh kalau harga-harga terus melambung, dan kita tetap harus menahan napas menjelang tanggal gajian berikutnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak