Algoritma Menggoda: Saat Konten Bullying Dijadikan Hiburan Publik dan Viral

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Algoritma Menggoda: Saat Konten Bullying Dijadikan Hiburan Publik dan Viral
Ilustrasi menonton konten bullying (Pexels/RDNE Stock project)

Di media sosial, viral sering diperlakukan sebagai pencapaian saat konten dianggap “berhasil” karena ditonton jutaan kali, dipenuhi komentar, dan dibagikan ke berbagai platform. Namun, ada ironi yang jarang dibicarakan saat dikaitkan dengan konten bullying.

Bahkan unggahan di media sosial yang mengarah pada konten bullying justru sering menjadi primadona algoritma. Video yang mempermalukan orang lain, potongan klip tanpa konteks, hingga meme yang merendahkan kerap cepat melesat dibanding konten edukatif atau empatik.

Fenomena ini bukan kebetulan dan merupakan hasil pertemuan antara algoritma yang haus interaksi dengan manusia yang mudah terpancing emosi.

Viral Bukan Soal Nilai, Tapi Reaksi

Algoritma media sosial bekerja sederhana, apa pun yang membuat pengguna bereaksi akan diprioritaskan. Sistem tidak mengenal etika, empati, atau dampak psikologis sebab yang dibaca hanyalah angka.

Berapa lama konten ditonton, seberapa banyak dikomentari, hingga seberapa sering dibagikan akan menjadi prioritas dalam sistem algoritma medsos, tak terkecuali konten berbau bullying.

Di titik inilah konten bullying menemukan jalannya yang berawal dari emosi instan yang terpicu, seperti rasa marah, kesal, geli, jijik, bahkan rasa puas melihat orang lain dipermalukan.

Emosi-emosi ini kemudian mendorong jari-jari pengguna medsos untuk berkomentar dan membagikan konten yang dilihat. Bagi algoritma, ini adalah sinyal emas untuk kemudian menampilkan konten serupa hingga menjadi viral.

Kita Menertawakan, Lalu Bertanya Mengapa Terjadi

Ironisnya, banyak pengguna yang menertawakan atau menonton konten bullying justru mengaku tidak mendukung perundungan. Mereka berdalih “cuma nonton”, “sekadar hiburan”, atau “biar tahu ceritanya”.

Namun, dalam ekosistem algoritmik, tidak ada yang namanya penonton netral. Setiap view, share, dan komentar adalah “bahan bakar” penyebaran. Kita mungkin tidak memukul korban secara langsung, tetapi kita ikut mendorong panggung tempat mereka dipermalukan.

Bullying yang Dikemas Ringan Jadi Sulit Ditolak

Konten bullying hari ini jarang tampil kasar secara eksplisit karena dibungkus rapi dalam bentuk meme lucu, potongan video pendek, caption satir, dan narasi “cuma bercanda” hingga membuat perundungan terasa ringan, bahkan menghibur.

Publik tertawa tanpa sempat bertanya apakah orang yang dijadikan bahan konten setuju? Apakah mereka baik-baik saja? Ketika tawa lebih diutamakan daripada empati, algoritma pun menangkap sinyal yang keliru sebagai konten yang “disukai”.

Anonimitas Membuat Bullying Semakin Subur

Ruang digital menawarkan anonimitas dan jarak emosional. Kita tidak melihat ekspresi korban secara langsung. Kita tidak mendengar suara mereka bergetar. Yang kita lihat hanyalah layar.

Kondisi ini memudahkan dehumanisasi. Korban berubah menjadi objek hiburan, bukan manusia. Komentar kejam pun terasa lebih ringan diucapkan, karena tidak ada konsekuensi langsung yang harus dihadapi.

Dan lagi-lagi, algoritma tidak membedakan komentar empatik atau kejam. Selama ramai, konten akan terus didorong naik hingga semakin viral.

Sayangnya, meski platform media sosial sering menyatakan komitmen melawan bullying, tapi praktiknya masih reaktif. Konten baru dihapus setelah viral, setelah korban terluka, setelah tekanan publik muncul.

Di sisi lain, pengguna juga sering melempar tanggung jawab ke platform. Padahal, algoritma belajar dari perilaku penggunanya yang memperbesar apa yang diberi perhatian lebih.

Saatnya Bertanya: Siapa yang Sebenarnya Kita Salahkah?

Menyalahkan algoritma saja tidak cukup sebab hanya menjadi cermin dari kebiasaan kita. Selama kita masih menonton sampai habis, ikut berkomentar sinis, dan menyebarkannya, maka konten bullying akan terus menemukan panggungnya.

Mengubah arah algoritma dimulai dari kita dan bisa dari langkah sederhana, seperti menghentikan tontonan sebelum selesai, tidak ikut berkomentar, tidak membagikan konten yang mempermalukan, melaporkan konten bermasalah, dan mendukung konten empatik.

Algoritma Menggoda Tidak Harus Selalu Diikuti

Algoritma memang menggoda, tetapi kita tidak harus selalu mengikutinya. Viral tidak selalu berarti layak dan ramai bukan berarti benar. Selama kita terus menikmati perundungan sebagai hiburan, algoritma hanya akan mengikuti kemauan kita.

Pertanyaannya sekarang bukan lagi mengapa konten bullying mudah viral, melainkan apakah kita bersedia berhenti ikut menyebarkannya? Keputusan kembali di tangan pengguna media sosial.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak