“Aku mau tinggal di sini sampai lulus!” batinku penuh harap sembari mengedarkan pandangan pada lanskap gedung rusunawa sebuah kampus yang menerimaku sebagai mahasiswa barunya. Kelebat memori itu melintas begitu saja, menyisakan getirnya penyesalan sebab kutelah menempatkan harapan pada sesuatu yang salah.
Ya, keputusanku tinggal di rusunawa itu nyatanya tidak lebih dari sekadar pilihan bodoh sebab pada akhirnya menjebakku dalam lingkar teror mereka, para makhluk tak kasatmata. Sebenarnya teror itu sudah lewat sekian tahun yang lalu tapi baru sekarang ini aku memiliki keberanian untuk menuliskannya, sebab dulu aku belum siap dan masih terlalu pengecut untuk membangkitkan ingatan mencekam serta kembali merasakan sensasi kengerian teror mereka.
Semuanya berawal di malam pertama kami menempati kamar 203, kamar yang kami tata senyaman mungkin itu, tidak pernah kusangka akan menjadi markas bermain mereka yang wujudnya tidak dapat ditangkap oleh pemilik mata biasa.
Malam itu kami hanyalah maba yang penuh antusias dan gelisah, mata kami tak mau terpejam meski malam sudah memasuki jam satu-an. Saat kami sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba bunyi tumbukan dari lantai atas memancing atensi kami. Suaranya cukup heboh hingga membuat kami senyam-senyum geli dan memancing kejailan temanku, sebut saja Vina.
“Laper, mbak? Tidur! Tidurlah mbak, biar besok siap menghadapi kenyataan,” ucap Vina cengengesan.
Tak ada jawaban, tak ada bunyi tumbukan, semuanya kembali hening.
“Tersinggung, kah?” tanya Vina lirih.
“Bukan tersinggung tapi sadar kalau nguleknya kekencengan,” ucapku menilai reaksi pengulek itu wajar, reaksi setelah ditegur pada umumnya.
“Maba, kah? Kalau kating ngeri, Euy!” ucap teman sekamarku yang lain sebut saja Evi.
“Menekutehek! Mau jam dua, guys! Tidurlah kita, sesudah subuh kita berangkat,” ucapku setelah menyetel alarm.
Setelah diospek seharian, kami yang beraktivitas terpisah hari itu kembali berkumpul di kamar. Saking lelahnya kami hari itu untuk memasak makanan pun kami terlalu sungkan sehingga cara pintas berburu lauk makan di kantin adalah pilihan terbaik untuk menjaga kelangsungan hidup.
Di kantin ada banyak orang yang tampak sama lapar dan lelahnya dengan kami, ramainya antrian saat itu menyediakan waktu yang cukup untuk mengobrol dengan mereka yang tak lain dan tak bukan adalah tetangga kami. Sebab itu kutanyakan pada mereka siapa yang “ngulek” jam satu-an semalam. Mereka semua menggeleng, lalu seorang yang tampak senior dari kami menyahutiku, dia nimbrung dengan senyuman yang sulit diartikan.
“Denger suara ngulek ya, Dek?”
“Iya, Kak. Sekitar jam satu-an,” ucapku.
“Di sini biasa itu, Dek. Anggap aja ucapan selamat datang.”
“Hah? Maksudnya gimana, Kak?” tanya Evi yang menyahuti di sela-sela aktivitas memilih gorengan.
“Itu penghuni sini, Dek. Eh, maksudnya penunggu!”
Dan kata “penunggu” itu membuat masing-masing dari kami diserang kegerian, bahkan saat itu juga aku dibuat merinding seketika.
“Anjir, semalem aku ajak ngebanyol lagi!” ujar Vina heboh sedangkan si senior hanya menertawakan kekonyolannya.
“Serius, Kak?” tanya Evi.
“Tapi suaranya jelas banget dari lantai atas, Kak!” ucapku.
“Kalian tinggal di kamar berapa?”
“203,” saut kami serempak.
“Oh, wajar. Gpp, Dek! Gak usah dipikirin, gak ada kejadian yang lebih aneh dari itu, selama ini cuma sebatas bunyi-bunyian doang,” ucap si kating santai.
Setelah membayar belanjaan, Vina pun mengajak aku dan Evi untuk naik ke lantai atas, tepatnya ke kamar yang berada di atas kamar kami, kamar 303. Aku dan Evi pun merasa enteng menuruti kemauan Vina, hitung-hitung melepas rasa penasaran.
“Masih mati lampunya.”
“Coba, ketuk aja dulu.”
“Assalamu’alaikum!” Vina mengucap salam disertai dengan ketukannya di daun pintu berulang sampai kami yakin kalau si penghuni sedang keluar.
Lalu tiba-tiba suara derit pintu terdengar, seseorang menyembul dari pintu kamar seberang. “Cari siapa, Mbak?” tanyanya.
“Ini Mbak nyari yang tinggal di sini,” ucapku sambil menunjuk ke arah pintu yang diketuk Vina tadi.
“Lah? Di sana kosong, Mbak!” ucap si mbak yang membuat kami kompak terperangah.
“Ah, serius Mbak? Semalam kami dengar ada yang ngulek, sumber bunyinya dari kamar ini,” ucap Evi.
“Maba, ya?”
“Iya, Mbak.”
“Gpp, Dek. Di sini udah biasa. Gak usah dipikirin. Toh kita kan hidup di alam masing-masing,” ucap si kating senada dengan kating yang kami temui di lantai bawah.
Sesampai di kamar Evi kembali bersuara, “Gimana?” sambil menatap ke atas.
“Dahlah, lupain. Toh semua orang santai-santai saja,” ucapku yang juga disetujui Vina.
Percayalah, malam pertama kami di kamar 203 hanyalah sebuah mula dari kejadian-kejadian ganjil yang tak bisa kutarik dengan akal sehat dan logika.
Bersambung…