CERPEN: Aku Memilih Bertahan

Hayuning Ratri Hapsari | Akrima Amalia
CERPEN: Aku Memilih Bertahan
Ilustrasi seorang perempuan yang sedang bertahan, menunggu seseorang dengan duduk di kursi bersama segelas air minum. (Dok: Canva/Akrima Amalia)

Semua orang mengira kematian itu selalu datang dengan suara: tangis, teriakan, atau derap langkah orang-orang yang berlarian. Padahal, kematian paling sering datang diam-diam. Seperti malam yang menutup jendela tanpa izin.

Aku menemukannya pada pagi yang terlalu biasa.

Tubuh itu terbaring di lantai kamar, rapi seolah ia hanya tertidur setelah hari yang panjang. Tidak ada darah yang mencolok, tidak ada luka yang langsung mengabarkan tragedi. Hanya wajah pucat, mata terpejam, dan napas yang telah lama pergi.

"Dia sakit jantung," kata seseorang kemudian.
"Dia memang kelihatan capek akhir-akhir ini," sahut yang lain.
"Kasihan, masih muda," tambah yang ketiga.

Semua orang selalu menemukan penjelasan yang paling mudah.

Aku berdiri di ambang pintu, memeluk diri sendiri, membiarkan tubuhku gemetar secukupnya - tidak berlebihan, tidak juga kurang. Tangisku kupelihara rapi, jatuh di waktu yang tepat. Aku tahu caranya terlihat kehilangan.

Bagaimanapun, aku adalah kekasihnya.

Kami sudah bersama cukup lama hingga orang-orang mengira kami akan menikah. Cukup lama hingga mereka tak lagi mempertanyakan apa pun tentang kami. Cukup lama hingga kebiasaan saling melukai terasa wajar, bahkan nyaris tak terlihat.

Mereka tak tahu bagaimana ia sering pulang membawa amarah yang tidak pernah ia titipkan di tempat lain.
Mereka tak tahu bagaimana kalimat-kalimatnya bisa lebih tajam dari benda apa pun.
Mereka tak tahu bagaimana cinta bisa berubah menjadi ruang sempit tanpa jendela.

Dan aku?
Aku belajar bernapas di dalamnya.

Hari pemakamannya hujan turun pelan. Langit seolah tahu bagaimana caranya ikut berduka tanpa menjadi pusat perhatian. Aku duduk di barisan depan, mendengarkan doa-doa yang melayang, mengamini hal-hal yang bahkan tak lagi aku yakini.

"Dia orang baik," kata seseorang di belakangku.

Aku hampir tertawa. Tapi aku menunduk lebih dalam, menyembunyikan senyum yang hampir lolos. Dunia selalu membutuhkan narasi yang rapi. Orang mati harus baik. Yang ditinggalkan harus kuat.

Tak ada yang bertanya padaku bagaimana rasanya dicintai olehnya.

Malam itu, rumah terasa terlalu luas. Aku berjalan menyusuri kamar, menyentuh benda-benda yang pernah kami gunakan bersama: cangkir retak di dapur, jaket yang masih menggantung, buku catatan di laci meja.

Di halaman terakhir buku itu, tulisannya terhenti di satu kalimat:

"Aku takut suatu hari aku akan melukainya terlalu jauh."

Tanganku bergetar. Aku menutup buku itu pelan, seolah suara kertas bisa membangunkannya dari kematian.

Beberapa hari kemudian, polisi datang. Bukan dengan nada menuduh, hanya sekadar prosedur. Mereka bertanya hal-hal kecil: jam berapa terakhir kami bersama, apa ia punya riwayat penyakit, apakah kami sempat bertengkar.

Aku menjawab semuanya dengan jujur: jujur versi yang aman.

"Iya, kami sempat berdebat."
"Tidak, tidak parah."
"Dia memang sering mengeluh dadanya sakit."

Kebenaran selalu punya banyak wajah. Aku memilih yang paling ramah.

Malam-malamku mulai dipenuhi mimpi. Dalam tidur, ia berdiri di hadapanku, bukan sebagai hantu, melainkan sebagai dirinya yang dulu: hidup, penuh suara, penuh tuntutan.

"Kamu berlebihan," katanya.
"Kamu terlalu sensitif."
"Kamu nggak akan bertahan tanpa aku."

Aku terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi leher. Di luar, jam berdetak seperti biasa. Dunia tidak runtuh hanya karena satu kematian.

Beberapa minggu berlalu. Orang-orang mulai melupakannya. Namanya berhenti disebut. Kursinya di kafe favorit kami diisi orang lain. Hidup memang selalu tahu cara bergerak maju tanpa permisi.

Aku mulai membereskan rumah.

Di balik lemari dapur, aku menemukan botol kecil tanpa label. Isinya sudah hampir habis. Aku memutar botol itu di tangan, mengenali bentuknya, mengenali bau samar yang masih tersisa.

Racunnya bekerja perlahan. Tidak instan. Tidak meninggalkan bekas yang mencurigakan. Dokter akan menyebutnya gagal jantung, atau komplikasi yang tak terdeteksi.

Aku memilihnya dengan hati-hati. Sama hati-hatinya seperti saat aku memilih untuk tetap tinggal bersamanya dulu.

Aku ingat malam itu dengan sangat jelas.

Ia berteriak. Meja terbalik. Kata-kata yang tak bisa ditarik kembali beterbangan seperti pecahan kaca. Aku berdiri di dapur, mendengarkannya mengulang kalimat yang sama bahwa aku tidak akan pernah cukup, bahwa aku beruntung masih dipilih.

Tanganku gemetar saat menuangkan cairan itu ke dalam minumnya. Bukan karena takut, tapi karena lelah.

Ia meneguknya tanpa curiga.

Cinta memang sering membuat kita ceroboh.

Ketika efeknya mulai bekerja, aku memeluknya. Mengusap punggungnya. Memanggil namanya dengan suara paling lembut yang pernah ia dengar dariku.

"Tenang," kataku. "Aku di sini."

Dan itu benar.

Aku di sana saat napasnya melambat. Saat tubuhnya menyerah. Saat dunia akhirnya diam darinya.

Aku tidak membunuhnya karena benci.
Aku membunuhnya karena aku ingin hidup.

Kini, setiap kali orang-orang menyebut namanya dengan nada sedih, aku mengangguk. Setiap kali mereka berkata aku kuat, aku tersenyum.

Mereka tidak tahu bahwa kematian itu adalah satu-satunya pintu keluar yang tersisa.

Dan aku?
Aku adalah saksi paling setia dari kematian yang paling sunyi, kematian seseorang yang dibunuh oleh orang yang paling ia percaya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak