Teknologi digital sering kita rayakan sebagai tonggak kemajuan. Dengan ponsel di genggaman, kita bisa bekerja, belajar, atau bersenang-senang tanpa batas ruang dan waktu. Namun di balik euforia itu, ada sisi gelap yang belakangan semakin nyata: pelecehan seksual berbasis digital. Bentuknya kian beragam, dan salah satu yang membuat publik gempar adalah fenomena mengedit foto orang lain dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) menjadi seolah-olah adegan intim.
Beberapa waktu terakhir, kasus ini melibatkan banyak tokoh publik. Foto artis, musisi, bahkan influencer, tiba-tiba muncul di media sosial dengan pose yang bukan milik mereka. Ada yang digambarkan sedang berpelukan mesra dengan orang lain, ada pula yang lebih parah, dibuat seolah-olah sedang berciuman. Semua itu dilakukan oleh tangan-tangan iseng netizen yang memanfaatkan teknologi editing berbasis AI.
Marah dan Tersakiti
Bagi kalangan artis dan influencer, foto bukan sekadar gambar, melainkan identitas dan reputasi. Ketika foto mereka dimanipulasi sedemikian rupa, bukan hanya nama baik yang dipertaruhkan, melainkan juga rasa aman sebagai manusia. Tak heran banyak di antara mereka meluapkan amarah di media sosial. Ada yang menegaskan akan membawa kasus ini ke jalur hukum, ada pula yang mengungkapkan trauma karena keluarganya harus melihat konten palsu itu beredar begitu luas.
Kegeraman itu wajar. Sebab, apa yang mereka alami bukan sekadar “editan” atau “konten iseng”. Itu adalah bentuk pelecehan seksual berbasis digital. Korban ditempatkan dalam adegan yang merendahkan, tanpa pernah memberikan persetujuan. Luka yang ditimbulkan tidak kasatmata, tetapi terasa begitu nyata: rasa malu, kehilangan kontrol, hingga ketakutan akan stigma publik.
Wajah Baru Pelecehan
Fenomena foto manipulatif ini menegaskan bahwa pelecehan seksual telah menjelma dalam wajah baru. Dulu, pelecehan sering dipahami sebagai kontak fisik atau ucapan cabul di ruang nyata. Kini, ia hadir sunyi di ruang maya. Pelaku mungkin tidak pernah menyentuh korban secara langsung, tetapi hasil karyanya bisa jauh lebih melukai.
Yang membuatnya semakin berbahaya adalah sifat dunia digital yang tak terbatas. Sekali foto manipulatif itu tersebar, ia bisa diunduh, dibagikan ulang, atau diperdagangkan di forum-forum gelap. Korban bisa kehilangan kendali atas tubuh digitalnya, seolah-olah dirinya bisa diatur sesuai kehendak orang lain.
Regulasi dan Tantangan Penegakan
Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengakui adanya pelecehan seksual berbasis elektronik, sementara Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberi dasar penindakan terhadap penyebaran konten asusila. Namun, penegakan hukum tidak selalu mudah. Identitas pelaku sering tersembunyi di balik akun palsu, server asing, atau komunitas digital yang tertutup.
Situasi ini sering membuat korban enggan melapor. Mereka khawatir kasus tidak ditindak, atau lebih buruk lagi, justru disalahkan. Padahal, seharusnya korban tidak pernah dimintai “pembuktian” atas pelecehan yang dialaminya. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan hukum dan langkah tegas terhadap pelaku.
Suara Publik yang Menggema
Kasus artis dan influencer yang fotonya dimanipulasi membuat suara publik semakin keras. Tagar-tagar protes beredar, desakan agar aparat bertindak pun kian nyaring. Sejumlah aktivis menegaskan bahwa praktik ini adalah bentuk eksploitasi seksual, bukan sekadar kreativitas digital. Publik figur yang marah tidak hanya membela dirinya, tetapi juga menjadi simbol perlawanan bagi banyak korban yang mungkin tidak dikenal tetapi mengalami hal serupa.
Kegeraman ini penting untuk menjaga kesadaran kolektif. Jika publik diam, pelaku akan merasa tindakannya hanyalah hiburan. Padahal, yang mereka lakukan adalah perampasan martabat.
Tanggung Jawab Bersama
Menghadapi persoalan ini, kita tidak bisa hanya bergantung pada aparat hukum. Ada tanggung jawab kolektif yang harus dipikul bersama. Masyarakat perlu memahami bahwa menyebarkan foto manipulatif sama jahatnya dengan membuatnya. Platform digital harus berani memblokir konten bermasalah dengan lebih tegas. Dan yang paling penting, korban harus mendapat dukungan, bukan cibiran.
Kita juga perlu mengingatkan diri sendiri bahwa teknologi tidak pernah netral. AI bisa menciptakan karya seni yang indah, tetapi juga bisa menjelma senjata pelecehan. Pilihan ada di tangan manusia: apakah akan menggunakan teknologi untuk membangun atau merusak.
Penutup
Pelecehan seksual di era digital tidak lagi sekadar ancaman. Ia sudah nyata, menimpa artis, influencer, bahkan orang biasa. Foto-foto manipulatif yang dibuat seolah-olah berpelukan atau berciuman mungkin terlihat “sepele” bagi pelaku, tetapi bagi korban, itu adalah mimpi buruk yang menggerogoti martabat dan rasa aman.
Kita tidak boleh membiarkan kasus ini hanya menjadi sensasi sementara. Kegeraman publik harus diterjemahkan menjadi gerakan nyata: memperkuat regulasi, menuntut platform lebih bertanggung jawab, dan membangun literasi digital. Hanya dengan itu, ruang digital bisa kembali menjadi tempat yang aman, bukan arena pelecehan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS