Di tengah ramainya kota Yogyakarta, suara suling bambu terdengar lembut, menembus keramaian kota, menenangkan siapa pun yang bersedia mendengarkan. Alunan itu bukan hanya musik; ia adalah napas, ruang, dan harmoni.
Inilah wajah Komunitas Suling Bambu Nusantara (KSBN), rumah bagi 24 anggota dari berbagai profesi dan usia: siswa SD dan SMP, mahasiswa, guru, pelukis, penyanyi, penulis, ibu rumah tangga, hingga pegawai kantor.
Sejak berdiri pada 2004, KSBN menjadi wadah bagi mereka yang ingin menjaga dan menghidupkan suling bambu. Komunitas ini lahir dari kesadaran bahwa musik tradisional, meski sederhana, masih punya tempat di hati banyak orang.
Di KSBN, suling bambu bukan sekadar alat musik; ia adalah medium yang menyatukan, membangun persaudaraan, dan memberi ruang untuk menemukan kedamaian.
Menyatukan Perbedaan
Anggota KSBN datang dengan latar belakang berbeda, tapi semua menemukan sesuatu yang sama: ketenangan dan kebahagiaan.
Awalnya saya ikut KSBN karena ingin terapi vertigo, ternyata main suling juga jadi hiburan. Ada rasa ringan setelah meniup suling,” ujar Ibu Yuni (69), salah satu anggota baru.
Ada Kanaya (14), siswi SMP kelas 3, yang merasa hangat diterima meski belum bisa main suling, dan bangga ikut melestarikan budaya.
“Pertama kali datang, saya merasa KSBN hangat sekali. Meski belum bisa main suling, semua orang diterima. Rasanya menyenangkan bisa ikut melestarikan budaya,” tutur Kanaya.
Ibunya, Ibu Lis (48), menekankan sisi sosial dan meditasi: lewat komunitas ini ia bisa menambah relasi, membangun persaudaraan, dan menemukan ketenangan.
“Di KSBN bukan hanya belajar musik, tapi juga membangun persaudaraan. Dari sini saya bisa menambah relasi, sekaligus menemukan ketenangan lewat suling,” kata Ibu Lis.
Kisah mereka menunjukkan bahwa KSBN bukan sekadar komunitas musik, tapi ruang lintas kalangan yang inklusif.
“Anggota kami ada yang masih SD sampai ibu rumah tangga dan pekerja kantoran. Semua bisa main suling, yang penting niat belajar,” jelas Agus Budi Nugroho, pendiri KSBN.
Kegiatan Rutin KSBN
Latihan rutin KSBN tiap Senin sore di pendopo Ambarrukmo Plaza menjadi ritual yang menenangkan. Di sini, anggota saling belajar, berbagi teknik, dan menyesuaikan diri dengan ritme satu sama lain.
KSBN juga pernah memanfaatkan ruang publik seperti Taman Budaya Yogyakarta dan Sunmor UGM sebagai panggung alternatif, menunjukkan bahwa musik tradisional bisa hadir di ruang modern, merangkul semua generasi.
Tak hanya latihan, Pendiri KSBN juga aktif berkarya. Proyek kreatif seperti “The Sound of Pawon", konser dan pelatihan musik berbasis alat dapur, mendapat hibah nasional. Sejak 2010, Agus Budi Nugroho, pendiri komunitas, membangun jejaring komunitas musik bambu di berbagai desa, memperluas dampak sosial dan budaya.
Dari suling, angklung, hingga gamelan mini, anggota diajak untuk bereksperimen dan mengekspresikan diri, menunjukkan bahwa musik tradisional bisa kreatif dan relevan.
Filosofi KSBN jelas: suling bambu sebagai ruang lintas kalangan. Ia bukan hanya hiburan, tapi terapi, sarana meditasi, dan medium pelestarian budaya. Semua anggota diterima tanpa diskriminasi, termasuk yang baru belajar.
Agus menambahkan, “Suling bambu itu sederhana, tapi bisa menyatukan orang dari berbagai latar. Dari napas jadi nada, dari nada jadi harmoni.”
Melalui suling, anggota dapat menenangkan diri, menemukan harmoni, dan membangun ikatan sosial yang hangat. Inilah yang membuat komunitas tetap hidup, meski menghadapi tantangan.
Tantangan Bukan Penghalang
Tantangan itu nyata: pendanaan masih kurang, latihan kadang terganggu karena ruang dipakai event lain, dan dominasi musik modern digital sering membuat musik tradisional terasa tersisih. Namun konsistensi dan solidaritas anggota membuat KSBN bertahan lebih dari dua dekade. Mereka menunjukkan bahwa yang dibutuhkan bukan panggung megah, tapi ruang untuk bernapas, bermain, dan merawat tradisi.
Di Yogyakarta, kota budaya dan pelajar, KSBN menjadi contoh bagaimana musik tradisional bisa tetap relevan. Suling bambu bukan sekadar alat musik tua; ia menjadi jembatan antar generasi, medium kreatif, dan simbol harmoni sosial. Dari napas bambu yang dihembuskan, lahirlah kebersamaan lintas kalangan: tua-muda, guru-siswa, professional-hobbies.
Suling bambu KSBN mengajarkan sesuatu yang sederhana tapi mendalam: eksistensi bukan soal seberapa keras suara terdengar, tapi seberapa lama gema itu bertahan dalam hati orang.
Di tengah hiruk-pikuk modernitas, alunan bambu masih mampu menghadirkan ketenangan, kebersamaan, dan rasa memiliki. Inilah yang membuat KSBN lebih dari sekadar komunitas musik; ia adalah ruang di mana manusia, budaya, dan harmoni bertemu.