Digugu lan Ditiru itulah sebuah falsafah atau istilah dalam bahasa Jawa yang sangat erat kaitannya dengan profesi guru, terutama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sejak dulu saya sering mendengar bahwa guru adalah profesi yang mulia dan semakin lama menjalani, saya semakin merasakan kebenarannya.
Digugu berarti perkataan atau nasihatnya harus bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan (diikuti/didengar). Ditiru berarti sikap dan perbuatannya pantas untuk dijadikan teladan atau contoh yang baik bagi para muridnya. Frasa ini menekankan bahwa seorang guru tidak hanya bertugas mengajar materi pelajaran, menjalankan kode etik guru serta pendagogi tetapi juga harus menjadi role model, beretika, dan budi pekerti yang baik di dalam maupun di luar kelas.
Ini adalah prinsip dasar dalam budaya Jawa mengenai figur pendidik yang ideal. Selain itu dalam mengamalkan kepribadian yang menginspirasi, seorang guru harus menjunjung tinggi profesionalisme, kesantunan, dan integritas.
Menemukan Panggilan Hati Menjadi Guru
Awalnya, saya tidak pernah menyangka akan menjadi seorang guru. Namun, seiring berjalannya waktu keyakinan serta kemantapan hati membuat saya yakin memilih jalan ini. Ternyata, menjadi guru adalah profesi yang luar biasa menyenangkan. Jika saya diberi kesempatan untuk mengulang waktu, saya akan tetap memilih profesi ini karena di sinilah saya belajar tentang kebahagiaan, ketulusan, dan rasa syukur.
Seperti kata pepatah, “Cintailah pekerjaanmu, maka pekerjaanmu akan mencintaimu.” Saya semakin memahami maknanya seiring perjalanan ini. Ketika kita mencintai apa yang kita lakukan, setiap tantangan terasa lebih ringan, serta setiap hari di kelas terasa bermakna.
Rasa cinta terhadap pekerjaan membuat saya lebih bersemangat, lebih sabar, dan lebih ikhlas menjalani peran ini. Dari sanalah kebahagiaan itu tumbuh secara perlahan tapi pasti, bersama tawa dan cerita anak-anak di ruang kelas.
Refleksi Pengalaman Menjadi Guru di Era Digital: Antara Harapan, Nilai, dan Kolaborasi
Menjadi guru di era digital merupakan pengalaman yang penuh tantangan sekaligus kesempatan. Dunia pendidikan saat ini menuntut pendidik untuk tidak hanya menguasai materi ajar, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, perkembangan teknologi dan kebutuhan belajar murid yang semakin beragam.
Dari pengalaman saya mengajar, pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu serta pengetahuan kepada murid, melainkan juga menumbuhkan karakter, nilai, dan semangat belajar yang berkelanjutan. Menjadi guru di zaman sekarang rasanya seperti belajar dua kali, satu kali untuk memahami karakter para murid, dan satu kali lagi untuk memahami teknologi.
Kadang saya tersenyum sendiri jika teringat masa-masa awal mengajar dulu, semua serba papan tulis, spidol, dan buku paket. Sekarang, anak-anak justru lebih tertarik melihat layar daripada lembar kerja. Awalnya saya canggung, tapi kemudian saya sadar, kalau saya ingin mereka belajar dengan semangat, maka saya juga harus ikut belajar bersama mereka.
Ketika Teknologi Menghidupkan Kelas
Awal mula saya menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran adalah ketika saya mengenal berbagai platform interaktif seperti Wordwall, Educaplay, dan Waygorund. Pada awalnya, saya merasa khawatir apakah anak-anak akan bisa beradaptasi dan mengikuti pembelajaran dengan baik.
Namun ternyata, mereka justru sangat antusias. Aktivitas seperti kuis interaktif di Wordwall, permainan edukatif di Educaplay, hingga eksplorasi visual di Waygorund membuat suasana belajar menjadi lebih hidup. Anak-anak yang biasanya pasif menjadi lebih aktif bertanya dan berpartisipasi.
Mereka menikmati proses belajar karena merasa terlibat dan tidak hanya menjadi pendengar. Dari situ saya menyadari bahwa teknologi bukan sekadar alat bantu, tetapi juga jembatan untuk menghubungkan dunia belajar dengan dunia nyata mereka. Selain itu teknologi bisa menjadi jembatan antara guru dan murid. Anak-anak merasa lebih dekat karena suasana belajar menjadi sangat menyenangkan dan tidak terasa membosankan.
Nilai-Nilai Pendidikan dalam Proses Mengajar
Dari pengalaman itu, saya semakin menyadari bahwa menjadi guru berarti juga menjadi pembelajar sepanjang hayat. Teknologi berkembang cepat, dan saya tidak bisa hanya mengandalkan cara lama. Tapi di balik itu, saya juga tidak ingin kehilangan esensi dari mengajar, yaitu menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Di balik penggunaan teknologi, nilai-nilai pendidikan tetap menjadi fondasi utama. Saya berusaha menanamkan kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, serta rasa ingin tahu kepada murid. Saat mereka mengerjakan kuis online, saya bilang, “Jawab dengan jujur ya, Nak. Tidak apa-apa salah, karena kalian sedang berproses dalam belajar.” Saat mereka membuat proyek kelompok, saya dorong agar mereka belajar menghargai pendapat teman dan berbagi peran secara adil.
Dengan cara ini, pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada pembentukan karakter dan sikap positif terhadap proses belajar itu sendiri. Nilai-nilai itu tetap bisa tumbuh bahkan di ruang belajar digital. Hanya saja, kita perlu menanamkannya dengan cara yang relevan bagi mereka.
Peran Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat
Keberhasilan pendidikan di era digital tidak bisa hanya didukung oleh sekolah atau guru semata. Sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat menjadi kunci utama. Sekolah perlu menyediakan fasilitas, pelatihan, dan kebijakan yang mendukung pembelajaran berbasis teknologi.
Orang tua harus berperan aktif dalam mendampingi anak belajar di rumah, memantau penggunaan gawai, dan memberi dukungan moral. Masyarakat berperan menciptakan lingkungan yang mendukung kegiatan belajar, misalnya dengan menyediakan akses internet yang aman dan ruang publik edukatif. Kolaborasi ini akan menciptakan ekosistem pendidikan yang tidak hanya modern secara teknologi, tetapi juga kuat secara nilai dan karakter.
Harapan ke depan
Dari semua pengalaman, saya belajar bahwa teknologi mengubah cara kita mengajar, tapi tidak pernah bisa menggantikan hati seorang guru. Saya berharap dunia pendidikan terus bertransformasi tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi hanyalah sarana, sedangkan guru tetap menjadi jiwa dari proses pendidikan. Harapan saya sederhana, semoga anak-anak yang saya ajar tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara intelektual, kreatif, tangguh secara emosional dan bijak dalam menggunakan teknologi.
Dan bagi saya sendiri, semoga saya tidak pernah berhenti belajar karena menjadi guru sejati berarti terus tumbuh, bersama murid-murid yang setiap hari mengajarkan arti baru dari kata “belajar”.