Budaya senioritas sudah lama hidup di berbagai lingkungan, baik di sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan komunitas hobi. Banyak yang menganggapnya hal biasa, bahkan jadi “tradisi turun-temurun” yang harus diterima.
Namun, di era ketika pendidikan karakter mulai ditekankan, senioritas justru sering menjadi akar dari perilaku bullying yang tak disadari. Pertanyaannya, kenapa budaya ini bisa bertahan begitu lama, dan bagaimana ini berubah menjadi tindakan yang menyakiti orang lain?
Senioritas: Antara Rasa Hormat dan Penyalahgunaan Kuasa
Secara sederhana, senioritas seharusnya berarti penghormatan pada pengalaman dan usia. Dalam konteks positif, senior memberikan teladan, bimbingan, dan nilai-nilai kedewasaan kepada junior.
Namun, yang sering terjadi di lapangan bisa berbeda jauh. Senioritas berubah menjadi ajang pembuktian status, pengakuan kekuasaan, bahkan ajang balas dendam halus dari pengalaman yang pernah mereka alami.
Contoh paling umum, sering kali senior ini berlindung di balik kalimat, “Dulu aku juga disuruh begini sama kakak kelas, jadi sekarang giliran kamu”. Kalimat klasik semacam ini menunjukkan kalau lingkaran senioritas terus berputar tanpa pernah diputus.
Saat Senioritas Bertransformasi Menjadi Bullying
Tidak semua tindakan senior termasuk bullying. Akan tetapi, ada beberapa pola khas yang menjadikan senioritas sebagai bibit kekerasan sosial, fisik, maupun emosional.
1. Normalisasi Perintah yang Merendahkan
Mulai dari suruhan kecil seperti beli makan, angkat barang, atau mengambilkan sesuatu kerap dinormalisasi. Hal ini dianggap “tugas junior”, padahal sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kegiatan belajar, organisasi, atau tujuan lainnya.
2. Tekanan untuk Tunduk Tanpa Tanya
Banyak junior yang takut bertanya karena dianggap tidak sopan atau melawan. Padahal, dalam pendidikan modern, bertanya adalah tanda berpikir kritis. Namun senioritas sering menanamkan pola “Pokoknya ikut saja. Jangan banyak alasan” hingga junior seolah dipaksa untuk tunduk tanpa tanya.
3. Ancaman Sosial
Tindakan seperti mengucilkan, memberi label “tidak hormat”, atau menyebarkan gosip jika junior tidak menurut termasuk bentuk bullying psikologis yang kerap terjadi, terutama di lingkungan sekolah dan kampus.
4. Kekerasan Fisik Berkedok Tradisi
Ada pula kegiatan yang mengatasnamakan “pembentukan mental”, padahal isinya pemukulan, hukuman fisik, atau aktivitas berbahaya. Ironisnya, banyak yang menganggapnya sebagai kenangan lucu setelah dewasa.
Lingkungan yang Membiarkan Senioritas Tumbuh
Bullying berbasis senioritas bertahan bukan hanya karena para senior merasa memiliki kuasa. Ada faktor lingkungan yang turut “memeliharanya”, termasuk fakta bahwa ada sebagian guru maupun atasan yang menormalisasi.
Kurangnya edukasi tentang batasan antara pembinaan, kedisiplinan, dan bullying juga turut andil menghidupkan senioritas yang berujung pada bullying. Ditambah lagi, junior sering merasa takut bicara karena tidak mau terkena konsekuensi saat melapor.
Senioritas di Era Modern: Harusnya Seperti Apa?
Senior sebenarnya punya peran besar dalam menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Dengan sedikit perubahan perspektif, senioritas bisa menjadi budaya positif yang membangun, bukan mematahkan mental.
Senior bisa menempatkan diri sebagai mentor, bukan penguasa yang memerintah seenaknya. Seharusnya mereka mengambil peran untuk membimbing, memberi arahan, dan memastikan junior merasa didukung.
Selain itu, penting bagi senior di era modern untuk memahami bahwa pengalaman pahit tidak harus diwariskan. Justru, mereka bisa jadi generasi yang memutus rantai itu.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu bergerak serempak untuk mulai menghilangkan tradisi yang tidak relevan. Jika tidak ada manfaat nyata, sudah saatnya tradisi lama ditinggalkan.
Senioritas Bukan untuk Ditakuti
Budaya senioritas sebenarnya tidak harus dihapus, tapi hanya perlu diubah. Senior bisa tetap dihormati, asalkan mereka juga mampu memberikan contoh yang baik, tentunya dengan dukungan dari lingkungan pendidikan dan komunitas.
Ingat, zaman terus berubah dan cara kita memperlakukan orang lain juga harus ikut ditingkatkan. Perubahan ini juga harus dibarengi dengan aturan yang lebih jelas, pengawasan yang ketat, dan edukasi tentang antibullying yang konsisten.
Yang paling penting, masyarakat harus mulai memahami kalau dampak bullying tidak main-main sebab bisa berujung trauma jangka panjang hingga cut off budaya senioritas negatif harus segara dilakukan.