Di sekolah, bullying sering jadi sorotan. Begitu masuk dunia kerja, istilahnya berubah lebih halus seperti, “kurang cocok dengan tim”, “ditekan atasan”, atau “dinilai belum adaptif”.
Padahal, di balik bahasa-bahasa profesional itu, ada perilaku yang sebenarnya masuk kategori bullying di kantor (workplace bullying), mulai dari silent treatment, tugas kerja yang tidak masuk akal, hingga komentar merendahkan yang dibungkus candaan.
Fenomena ini jarang diangkat, apalagi dilaporkan. Bahkan korbannya hanya bisa bertahan atau memilih resign. Banyak orang menganggapnya sebagai bagian dari “proses pendewasaan karier”. Tapi benarkah harus begitu?
Bentuk-bentuk Bullying di Kantor yang Sering Diabaikan
Sebelum bertanya “mengapa tidak dilaporkan?”, kita perlu memahami bentuk perilakunya. Dunia kerja punya cara tersendiri untuk menyamarkan toxic behavior hingga tampak normal.
- Silent Treatment atau Dikucilkan Diam-diam
Atasan atau rekan kerja sengaja tidak menyapa, tidak mengajak rapat, atau mengabaikan pendapat. Kelihatannya sepele, tapi efeknya besar karena bisa membuat seseorang merasa tidak kompeten atau tidak dianggap.
- Beban Pekerjaan Tidak Adil
Ada karyawan yang jadi “tempat nitip kerja” karena dianggap paling nurut atau tidak berani protes. Sementara yang lain bisa bersantai tanpa konsekuensi. Ini bukan lagi teamwork, tapi eksploitasi berkedok profesionalitas.
- Komentar Merendahkan Dibungkus Candaan
“Bercanda kok baper” kerap menjadi kalimat yang ‘populer’ di lingkup kantor. Padahal, kalau sebuah candaan terus-menerus membuat seseorang terhina, itu bukan humor tapi bullying sosial.
- Menghambat Karier Secara Halus
Menghambat karier secara halus juga sering terjadi di lingkungan kerja, misalnya tidak diberi pelatihan, tidak disarankan promosi, atau sengaja tidak diberikan kesempatan tampil.
Cara halus seperti ini sering membuat korbannya merasa bersalah pada dirinya sendiri. Masalahnya, banyak pegawai tidak menyadari kalau perilaku ini semua masuk kategori workplace bullying.
Alasan Bullying di Kantor Jarang Dilaporkan
Fenomena workplace bullying memang jarang dilaporkan meski tahu kalau sedang diperlakukan tidak adil. Namun, sistem dan budaya kerja membuat mereka memilih diam sembari bertahan atau resign saat sudah tidak kuat.
Alasannya tidak lepas dari rasa takut andai dianggap tidak profesional kalau mengeluhkan tekanan pekerjaan. Padahal tekanan pekerjaan yang sebenarnya punya batasan yang jelas dengan penindasan yang melukai mental.
Sayangnya, dunia kerja sering mencampuradukkan kedua hal tersebut hingga korban memilih menahan diri agar tidak diberi label “baper” atau “mental tempe”.
Di sisi lain, hierarki yang kaku juga punya andil atas bungkamnya korban bullying di kantor. Apalagi kalau pelakunya atasan dan senior, korban jadi merasa tidak punya posisi tawar. Melapor perundungan lebih sering dianggap mengganggu harmoni tim atau dinilai tidak loyal.
Dampaknya, keputusan melaporkan situasi bullying yang dialami hanya akan memunculkan kekhawatiran soal karier yang berpotensi terhambat. Dunia profesional kadang kejam, bukan pelaku yang kehilangan kesempatan tapi malah korbannya.
Terlebih sistem pengaduan bullying di kantor nyaris tidak ada. Departemen HR yang dipandang sebagai perpanjangan tangan perusahaan, tetap tidak bisa menjadi perwakilan karyawan.
Kalau nekat melapor, banyak yang takut identitasnya bocor dan berakibat pada mutasi atau malah pemutusan hubungan kerja. Pada akhirnya, budaya workplace bullying terasa seperti dinormalisasi sebagai gemblengan dunia kerja.
Workplace Bullying: Berdampak Serius Meski Tidak Terlihat
Bullying di kantor bukan sekadar drama internal sebab efeknya bisa jangka panjang dan jarang terlihat secara langsung karena korban kerap memilih diam tapi tahu-tahu burnout sampai alami stres kronis.
Kalau mental jadi drop akibat stres berkepanjangan yang mengganggu kesehatan fisik, produktivitas kerja pun menurun karena karyawan yang tidak dihargai akan kehilangan motivasi.
Kalau terus dinormalisasi, kantor yang seharusnya menjadi ruang aman akan berubah menjadi lingkungan kerja yang tidak sehat. Ujungnya, turn over akan meningkat saat korban bully merasa tidak sanggup bertahan lagi.
Workplace Bullying: Diam Bukan Solusi
Workplace bullying sebenarnya bukan topik baru, tapi terlalu lama dianggap tabu. Diam tidak menyelesaikan masalah, justru memperpanjang siklus toksik. Lingkungan kerja seharusnya tempat berkembang, bukan tempat merasa kecil.
Jika kantor adalah “rumah kedua”, maka sudah seharusnya semua orang merasa aman di dalamnya. Jadi, stop menormalisasi segala bentuk perundungan di dunia kerja dan mulailah dari diri kita sendiri untuk memutus perilaku ini.