Bullying sering kali dianggap mudah muncul karena lingkungan sekolah atau pergaulan. Padahal, banyak perilaku bullying justru terbentuk dari pola asuh di rumah, entah karena anak terlalu dipuji atau dikritik.
Menariknya, dua pola asuh yang tampak sangat berbeda ini ternyata sama-sama memiliki risiko tinggi untuk “melahirkan” pelaku bullying. Bahkan, orang tua sendiri kerap tidak menyadari potensi ini sampai muncul kasus besar.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan bagaimana orang tua dapat menyeimbangkan cara mendidik anak agar mereka tumbuh dengan empati, bukan agresivitas?
Pola Asuh dan Pembentukan Sikap Anak
Orang tua memegang peran penting dalam membentuk karakter anak. Cara orang tua merespons setiap perilaku, emosi, dan pencapaian anak akan menjadi dasar bagaimana mereka memandang diri sendiri dan memperlakukan orang lain.
Pujian dan kritik pada dasarnya memiliki fungsi positif selama diberikan secara tepat. Namun, saat salah satu diberikan secara berlebihan, efeknya justru dapat menjerumuskan anak ke perilaku yang tidak sehat, termasuk bullying.
Anak yang Terlalu Sering Dipuji: Risiko Munculnya Sikap Superior
Banyak orang tua berpikir kalau memuji anak tanpa henti akan membuatnya lebih percaya diri. Sayangnya, pujian berlebihan dapat menumbuhkan self-image yang tidak realistis dan menimbulkan dampak negatif.
Anak akan merasa selalu benar dan paling hebat karena terus-menerus dipuji hingga tumbuh dalam keyakinan kalau mereka istimewa, bahkan lebih baik dari orang lain. Saat bertemu orang yang tidak sejalan dengan persepsinya, mereka cenderung menunjukkan perilaku merendahkan atau mendominasi.
Pujian berlebihan pada anak juga rentan mengembangkan kecenderungan narsistik. Alih-alih percaya diri, mereka sebenarnya memiliki harga diri yang rapuh dan terus ingin menjaga citra diri, termasuk dengan menyerang atau merendahkan orang lain agar merasa unggul.
Apalagi kalau muncul seseorang yang dianggap unggul, anak ini akan melihat teman-temannya sebagai pesaing, bukan rekan. Hal ini kemudian berpotensi memicu perilaku agresif, mengejek, atau menjatuhkan.
Anak yang “over dosis” pujian juga akan kesulitan menghadapi kritik dan cenderung tidak terbiasa menerima kegagalan atau penolakan. Saat merasa terancam, mereka akan menggunakan bullying sebagai bentuk pertahanan diri.
Anak yang Sering Dikritik: Mengarah pada Agresivitas dan Dominasi
Sebaliknya, anak yang hidup dalam lingkungan penuh kritik keras akan lebih berisiko menjadi pelaku bullying. Kritik tajam, cacian, atau tuntutan berlebihan yang didapat dari rumah akan merusak harga diri anak.
Dampaknya, anak akan meniru pola komunikasi kasar dalam merespons teman-temannya di sekolah karena perilaku yang kerap dilihat di dalam rumah ini dianggap wajar untuk menghadapi konflik.
Di sisi lain, sebenarnya anak yang sering dikritik juga memiliki luka emosional yang saat berada di sekolah maupun terjun dalam pergaulan sosial akan melampiaskan luka tersebut pada orang lain.
Ketidakberdayaan mereka di rumah dan rasa tidak aman dibalas dengan perilaku dominan di tempat lain untuk mendapatkan kendali kembali dengan mengintimidasi teman yang lebih lemah.
Pada akhirnya, anak-anak ini akan semakin kesulitan mengelola emosi. Kritik tidak sehat yang selama ini didapat membuat anak terbiasa bereaksi lewat amarah atau defensif, bukan dengan berpikir dan berempati.
Dua Ujung Ekstrem yang Sama-sama Berbahaya
Memberi pujian dan kritik berlebihan pada anak dalam penerapan pola asuh menjadi dua ujung ekstrem yang sama-sama berbahaya karena akan memutus proses pembelajaran emosional anak.
Keduanya cara “mendidik” ini bisa menghambat anak belajar empati, mengganggu regulasi emosi, menciptakan distorsi terhadap konsep diri, dan membentuk pola relasi yang tidak sehat.
Pada akhirnya, anak yang tidak memahami perasaan diri sendiri akan sulit memahami perasaan orang lain. Padahal empati adalah kunci utama mencegah bullying, dan kedua anak “ekstrem” ini kesulitan mengembangkannya.
Keseimbangan: Kunci Pola Asuh yang Mencegah Bullying
Untuk membentuk anak yang percaya diri tapi tetap rendah hati, orang tua perlu memberikan porsi pujian dan kritik secara seimbang, realistis, dan empatik.
Memberi pujian spesifik yang realistis bisa diterapkan dengan kalimat deskriptif, terutama terkait proses dan rasa bangga orang tua, bukan melulu pada hasil, demi membangun growth mindset.
Di sisi lain, kritik juga tetap harus diberikan dengan cara yang membangun, bukan kalimat yang cenderung merendahkan. Kritik harus fokus pada perilaku, bukan merendahkan diri anak.
Di sela-sela konsep ini, anak juga harus tetap diajarkan empati sejak dini melalui diskusi perasaan, mengajarkan membaca emosi, dan lakukan role-play tentang situasi sosial demi mencegah ‘budaya’ bullying.
Ajarkan anak menghadapi gagal dan sukses dengan sehat agar kegagalan tidak membuat mereka buruk, dan keberhasilan tidak membuat mereka lebih tinggi dari orang lain. pastikan juga untuk memvalidasi emosi anak saat mengekspresikan diri untuk didengar.