Bukan Sekadar Anak Nakal: Kupas Luka Psikologis di Balik Pelaku Bullying

Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Bukan Sekadar Anak Nakal: Kupas Luka Psikologis di Balik Pelaku Bullying
Ilustrasi bullying dan pendidikan karakter (Freepik/gpointstudio)

Bullying sering dipotret sebagai tindakan kejam dari satu orang ke orang lain. Namun gambaran ini terlalu sederhana. Pelaku bullying tidak muncul dari ruang kosong mereka adalah produk dari luka psikologis, pola asuh, dinamika sosial, hingga dorongan untuk mempertahankan posisi dalam hierarki kelompok.

Memahami sisi psikologis pelaku bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk mencegahnya sejak akar.

Selama kita memandang bullying hanya sebagai masalah anak nakal, kita tidak akan pernah menyelesaikan persoalan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar perilaku buruk

Pelaku Itu Tidak Selalu Kuat Bullying sebagai Kompensasi Luka Psikologis

Kita sering membayangkan pelaku bullying sebagai sosok kuat mandiri, percaya diri, dan dominan. Padahal banyak penelitian psikologi sosial menunjukkan hal sebaliknya. Banyak pelaku justru memiliki luka emosional yang tidak pernah terselesaikan rasa tidak aman, kebutuhan pengakuan, hingga perasaan inferior yang disembunyikan. Kekerasan menjadi topeng untuk menutupi rapuhnya identitas diri.

Mereka yang tumbuh dalam lingkungan penuh bentakan, ejekan, atau kontrol berlebihan cenderung membawa pola itu ke luar rumah.

Ketika di rumah mereka tidak memiliki kendali, di sekolah atau ruang sosial lain mereka berusaha mengambil kembali rasa kuasa itusayangnya dengan cara menekan orang lain. Bullying menjadi cara tercepat untuk merasa berdaya.

Di sisi lain, pelaku sering membangun identitas diri melalui dominasi. Saat mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup menarik, atau tidak cukup pintar, mereka menutupi kekosongan itu dengan merendahkan orang lain.

Tindakan itu memberi sensasi kemenangan yang semu, tetapi sesungguhnya mereka sedang berjuang menghadapi rasa takut akan ketidakmampuan mereka sendiri.

Bullying bukan hanya soal kekejaman. Ia sering lahir dari luka yang tak terselesaikan.

Ketika Lingkungan Menjadi Pendorong Tekanan Kelompok dan Budaya Kekasaran

Psikologi sosial menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak pelaku bullying tidak akan berani melakukan kekerasan jika mereka sendirian. Keberanian itu muncul ketika mereka mendapat dukunganbaik berupa tepuk tangan, sorakan, atau sekadar diam dari kelompok.

Inilah yang disebut peer reinforcement. Ketika pelaku melihat bahwa perilakunya mendapat perhatian, tawa, atau bahkan ketidaktindakan dari guru, kekerasan itu terlihat sah. Ia menjadi norma sosial yang diterima. Di sinilah bullying berubah dari tindakan individu menjadi budaya.

Tidak sedikit sekolah yang tidak sengaja menumbuhkan kultur ini. Pelaku yang berprestasi sering dimaafkan karena dianggap membawa nama baik.

Anak yang agresif dianggap punya jiwa pemimpin. Sementara korban dilabeli lemah atau terlalu sensitif. Narasi-narasi seperti inilah yang membuat pelaku merasa kebal.

Bahkan dalam lingkungan digital, budaya bullying semakin diperkuat. Ketika sebuah meme menghina seseorang menjadi viral, ratusan orang ikut menertawakan tanpa berpikir.

Efek kerumunan membuat orang mengabaikan empati. Tindakan menyakiti menjadi hiburan massal. Pelaku tidak merasa bersalah karena merasa semua orang melakukannya.

Lingkungan yang tidak menghargai empati adalah lahan subur pelaku bullying tumbuh dan berkembang.

Menghentikan Bullying Dimulai dari Memperbaiki Sistem, Bukan Hanya Menghukum

Kita sering fokus pada melindungi korbandan itu sangat penting. Tetapi jika pelaku tidak dibantu untuk berubah, siklus kekerasan tidak akan pernah berhenti. Menghukum tanpa memahami akar perilaku hanya membuat mereka semakin defensif atau semakin pandai menyembunyikan tindakan mereka.

Pendekatan psikologi modern menekankan restorative approachpendekatan pemulihanyang mengajak pelaku melihat dampak nyata dari perilakunya.

Banyak pelaku tidak benar-benar paham bahwa ejekan ringan bagi mereka bisa menjadi trauma mendalam bagi orang lain. Ketika mereka diajak berdialog, memahami perspektif korban, dan menyadari konsekuensi emosional yang mereka sebabkan, perubahan perilaku lebih mungkin terjadi.

Sekolah pun harus berhenti memandang bullying sebagai masalah individu. Ini adalah masalah sistem. Guru harus dilatih memahami tanda-tanda awal, sekolah harus menciptakan budaya melapor tanpa takut, dan kelompok siswa harus dibangun untuk menjadi agen anti-bullying.

Pelaku harus dibimbing membangun regulasi emosi, memperbaiki empati, dan belajar mengelola kebutuhan akan kekuasaan secara sehat.

Karena pelaku bullying bukan hanya anak yang kasar. Mereka adalah anak yang tidak pernah diajarkan cara menggunakan kekuatannya dengan benar.

Selama pelaku dianggap sebagai monster, kita tidak akan pernah menemukan solusi. Pelaku bukan dilahirkan, mereka dibentuk oleh luka, lingkungan, dan budaya yang kita biarkan.

Bukan berarti mereka harus dimaafkantetapi dipahami agar dicegah. Korban membutuhkan perlindungan, tetapi pelaku membutuhkan perubahan.

Jika kita ingin menghentikan bullying, kita harus berhenti sekadar mengutuk perilaku, dan mulai membongkar apa yang membuat seseorang merasa perlu menyakiti orang lain.

Hanya dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan yang benar-benar amanbukan hanya bagi korban, tetapi bagi setiap anak untuk tumbuh dengan empati, bukan kekuasaan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak