Pukul enam pagi, gelombang kecil menggoyangkan perahu katir bermesin diesel yang mengangkut 23 anak berseragam pramuka menuju tengah perairan. Mereka tidak hendak menjaring ikan, melainkan mengejar pelajaran.
Di gugus Kepulauan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, sekolah yang paling disiplin masuk kelas setiap hari justru adalah sekolah yang mengapung di atas air asin.
Perahu yang Menghapus Kata Terpencil dari Kamus Anak Pesisir

CeritaDariPesisir datang di antara pulau-pulau kecil Sapeken, Pagerungan Besar, dan Sepanjang, perjalanan antarpulau bisa menghabiskan 2 hingga 7 jam bolak-balik laut lepas. Sekolah SMP atau SMA sama sekali tidak ada di pulau-pulau terluar.
Kalau ingin melanjutkan pendidikan, anak-anak terpaksa merantau ke pulau besar atau daratan Madura—biaya yang tak sanggup ditanggung keluarga nelayan. Tahun 2017, angka putus sekolah di Kecamatan Kangayan dan Sapeken mencapai 42 persen, salah satu yang tertinggi di Jawa Timur.
Dari keprihatinan itu muncullah gagasan Sekolah Apung. Tahun 2018, sebuah perahu panjang 12 meter lebar 3 meter diubah menjadi kelas berjalan. Dinding triplek, atap seng bergelombang, lantai karpet plastik tebal.
Di dalamnya tersedia papan tulis lipat, bangku kayu memanjang, serta rak buku anti-air. Setiap subuh, perahu berangkat menjemput siswa dari dermaga-dermaga kecil, mengajar di tengah teluk selama empat sampai lima jam, lalu mengantar pulang sebelum angin barat mengganas.
Di sini SuaraHijau juga menyerukan, “Kami ingin anak-anak pesisir tidak hanya mewarisi bau ikan dan jaring robek, tapi juga cita-cita setinggi langit,” kata Bu Nurul, guru sekaligus juragan perahu yang didukung penuh oleh Yayasan Hijau Bahari serta sumbangan warga.
Perahu-perahu itu diberi nama “Bahtera Ilmu”. Kini sudah ada tiga unit yang beroperasi bergantian mengarungi teluk.
Pelajaran dimulai dengan menghafal nama ikan dalam bahasa Latin dan dialek Madura secara bersamaan, dilanjutkan berhitung menggunakan contoh bagi hasil tangkapan, lalu pelajaran bahasa dan sains alam. Kadang ombak besar datang tiba-tiba; kelas terpaksa jeda, semua anak memegang tali pengaman sambil tertawa kegirangan. “Belajar goyang-goyang lebih asyik, Bu!” teriak Fikri, siswa kelas 8, sambil menahan buku agar tidak basah.
Sekolah apung juga mengajarkan cinta lingkungan secara nyata. Tiap Jumat pagi, anak-anak memungut sampah plastik yang terapung, menimbangnya di perahu, lalu menukarkannya dengan buku tulis dan pensil baru. Program “Sampah Jadi Buku” berhasil mengangkut hampir 2 ton plastik dari teluk dalam kurun dua tahun.
Kini, dari 120 anak yang nyaris putus sekolah pada 2019, lebih dari 90 di antaranya berhasil lulus SMP. Beberapa bahkan sudah kuliah di Surabaya berkat beasiswa perusahaan tambak setempat.
“Dulu saya kira hidup saya hanya akan berakhir di dapur berasap ikan asin. Sekarang saya ingin jadi dokter hewan khusus biota laut,” ujar Nur Aini, 16 tahun, sambil memperlihatkan rapor penuh nilai biru.
Hambatan masih mengintai: musim angin barat membawa gelombang besar, mesin sering rewel, dana operasional bergantung pada donasi musiman. Namun semangat anak-anak pesisir mampu mengalahkan segalanya. Saat ditanya mimpinya, seorang bocah kelas 6 menjawab tegas, “Mau jadi guru sekolah apung, biar adik-adikku kelak tak lagi takut sama ombak.”
Di hamparan biru Laut Jawa yang tak bertepi, Bahtera Ilmu terus melaju—mengangkut buku pelajaran, mimpi-mimpi besar, dan masa depan cerah bagi anak-anak yang terlahir dan dibesarkan di pelukan ombak.
