Menjelang akhir tahun, biasanya orang sibuk merangkum pencapaian, membuat resolusi, atau sekadar berharap tahun depan lebih ramah. Tapi di Indonesia, 2025 ditutup dengan perasaan yang resah.
Terlalu banyak peristiwa membuat publik lelah, marah, sekaligus bingung. Kebijakan datang bertubi-tubi, krisis muncul silih berganti, dan kepercayaan pada negara terasa makin tipis.
Dalam kondisi seperti ini, berbicara tentang harapan terdengar hampir naif. Namun justru di titik jenuh ini, sobat Yoursay, kita perlu bertanya pada diri sendiri, dari semua kekacauan yang melanda sepanjang 2025, apa yang sebenarnya masih bisa kita pertahankan dan selamatkan?
Sepanjang 2025, ketika negara sering absen atau sibuk saling lempar tanggung jawab, kita justru melihat solidaritas sipil bekerja. Saat bencana banjir dan longsor melanda berbagai daerah, bantuan pertama sering kali datang dari warga sekitar, komunitas lokal, relawan independen, dan penggalangan dana publik.
Mereka bergerak tanpa menunggu komando, tanpa konferensi pers, dan tanpa klaim pencitraan. Negara mungkin datang belakangan, tapi warga sudah lebih dulu hadir.
Hal serupa terlihat dalam berbagai polemik kebijakan. Ketika RKUHAP disahkan dengan pasal-pasal bermasalah, kritik tidak berhenti pada satu dua organisasi. Dari mahasiswa, akademisi, jurnalis, hingga masyarakat sipil saling terhubung, membedah pasal, menyebarkan penjelasan sederhana, dan membuka diskusi publik.
Meskipun mereka sering dianggap cerewet atau “selalu mencari kesalahan”, suara-suara ini justru menjadi pengingat bahwa demokrasi harus dijaga, bahkan ketika hasilnya tidak langsung terlihat.
Harapan lain muncul dari perubahan cara publik merespons kekuasaan. Jika dulu banyak kebijakan lolos begitu saja, kini publik jauh lebih cepat bertanya.
Media sosial memang sering bising, kadang melelahkan, tapi ia juga menjadi ruang koreksi. Pernyataan pejabat bisa diuji dalam hitungan menit, data bisa dilacak, dan arsip bisa dibongkar. Ini adalah tanda meningkatnya literasi politik warga.
Memang, kesadaran ini belum merata. Masih banyak hoaks, polarisasi, dan manipulasi emosi. Namun dibanding satu dekade lalu, publik hari ini tidak sepenuhnya pasif.
Mereka bisa marah, kecewa, tapi juga belajar. Kritik terhadap program MBG, misalnya, tidak hanya soal anggaran, tapi juga soal kualitas gizi, peran ahli, dan tata kelola. Ini menunjukkan pergeseran dari kritik emosional ke kritik substantif, meski belum selalu rapi.
Yang juga patut diselamatkan adalah keberanian sebagian kecil aparatur dan pejabat publik yang memilih tidak sepenuhnya tunduk pada arus. Meski jumlah mereka mungkin sedikit dan suaranya sering kali teredam, eksistensi mereka adalah bukti bahwa nurani dalam sistem pemerintahan kita belum sepenuhnya mati. Kita harus ingat bahwa perubahan besar biasanya dipicu oleh sedikit orang yang berani konsisten melawan arus.
Kita boleh berharap, tapi jangan sampai harapan itu membuat kita abai terhadap ancaman yang nyata. Tahun 2025 telah membuktikan betapa rentannya agenda reformasi dirusak dari dalam sistem itu sendiri. Melalui manipulasi simbol, narasi sejarah, hingga instrumen hukum, penyimpangan mulai dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Oleh karena itu, keterlibatan warga sangatlah menentukan. Harapan hanya akan berarti jika dibarengi dengan sikap kritis; tanpa kewaspadaan, optimisme kita hanya akan menjadi bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan.
Sobat Yoursay, Indonesia saat ini mungkin memang sedang dalam kondisi yang tidak ideal, namun harapan itu belum sepenuhnya sirna.
Hal terpenting yang harus kita selamatkan bukan hanya sekadar lembaga atau institusi, melainkan memori kolektif kita, keberanian untuk tetap kritis, serta kuatnya solidaritas antarsesama.
Selama masih ada individu yang berani berdiskusi di tengah tekanan, yang tulus membantu tanpa pamrih pencitraan, dan yang berani bersuara meski dipandang sinis, maka cahaya harapan itu masih menyala.
Mari kita jadikan akhir tahun ini menjadi momen untuk meninjau kembali catatan-catatan kecil yang terabaikan. Dari sana kita bisa sadar, bahwa melalui langkah-langkah kecil yang konsisten dan "keras kepala" itulah, kita bisa menjaga agar bangsa ini tidak terpuruk lebih dalam.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS