Panasnya hawa siang itu memaksaku keluar dari pos tempatku berjaga. Aku berpikir, tentu asyik duduk-duduk di bawah pohon beringin di luar pagar kantor. Kerimbunan daun dan semilir angin pasti bisa mengusir rasa sumuk ini. Toh aku masih bisa mengawasi kantor, jika ada tamu yang datang.
Saat asyik ngobrol ngalor-ngidul dengan satpam kantor sebelah, lewat di hadapanku seorang kakek tua bersepeda. Melihat kami, si kakek memperlambat laju sepedanya hingga berhenti sama sekali, tepat di depanku.
Ada yang unik dari sepedanya. Sepeda biasa memang, tapi apa yang diboncengnya, tidak bisa dibilang biasa. Ya, ada sebuah boks penuh rangkaian kata-kata serta sebuah bendera merah putih. Merahnya sudah pudar sementara putihnya mulai tampak kekuningan.
Turun dari sepeda, si kakek mengucapkan salam lalu duduk di samping kami. "Hadi," demikian si kakek berpakaian serba hitam itu menyebut namanya. Kami pun mulai bertanya dari mana dia berasal. "Dari Jember mas, keliling Indonesia, ke Bali, lalu ke Banten, dan sampai di sini," jawabnya.
Sepedanya pun langsung jadi pusat perhatian kami. Di bagian depan, di bawah stang, terpasang selembar mika putih. Di atasnya tertempel cutting sticker bertuliskan "Safari Kerukunan Jawa-Bali". Boks belakangnya lebih ramai tulisan. Yang cukup menggelitik adalah kalimat "Wong Legowo Mlebu Swargo" dan "Simbah Pesan!! Gak Usah Ribut/ Sara Toh Siapapun Presidennya Tetap Presiden Kita Semua".
Dasar penonton setia Sidang MK yang digeber stasiun tv belakangan ini, sontak muncul pertanyaan dariku,"Mbah, ini maksudnya yang disuruh legowo itu Prabowo ya?"
Kakek bercaping itu pun tegas menjawab,"Ndak mas, itu pesan untuk semua manusia, ciptaan Yang Kuasa."
Singkat cerita, si kakek sudah duduk di posku sambil menyeruput teh hangat yang disajikan OB. Setelah membakar sebatang rokok Dji Sam Soe yang diambil dari kantongnya, iapun lantas bercerita dan menjawab rasa penasaran kami.
"Saya sudah lama berjalan. Sembilan tahun mas. Enam tahun saya berjalan kaki, tiga tahun saya gunakan sepeda. Kalau mas-mas tanya untuk apa saya lakukan ini, saya dalam rangka tafakur dan menebar pesan moral bagi semua orang," katanya.
Sempat terlintas di pikiran, mungkin si kakek agak kurang waras. Namun, sejenak kemudian, terbukti dugaanku meleset. Tanpa diminta, kakek berjanggut putih yang memakai ikat kepala bermotif batik itupun bicara banyak tentang cara pandangnya terhadap hidup.
"Manusia terkadang salah memaknai agama. Masih banyak yang menjalaninya hanya di kulit saja. Selama perjalanan saya, sering saya jumpai orang-orang yang mengedepankan fanatisme dan mengesampingkan toleransi," kata kakek yang mengaku berusia 67 tahun tersebut.
Panjang lebar dia bercerita. Tentu, ia banyak membaca, pikirku. Namun, ketika kutanya, "bukan mas, saya hanya belajar dari alam," jawabnya. Dia lalu melanjutkan, "Laut misalnya. Manusia membuang sampah di laut. Laut menerima semua tanpa mengeluh, tapi laut memberikan hartanya bagi manusia, ikan, mutiara terindah. Manusia harus belajar banyak dari alam"
Lama mengembara tanpa uang saku, si kakek mengaku tak khawatir. "Ada Tuhan yang selalu memelihara saya. Saya tak pernah kekurangan. Setiap hari selalu saja Dia sediakan. Tidak pernah satu haripun saya tidak makan," katanya.
Kakek berkacamata ini juga tak pernah memusingkan soal tempat berteduh dan tidur. "Atap rumah saya unik mas, terkadang biru terang, terkadang putih, terkadang hitam," tuturnya. Dari ceritanya, jelas sekali bahwa si kakek sering tidur beratapkan langit.
Setelah menandaskan air teh di gelasnya, si kakek pun pamit. "Mas, saya pamit dahulu, mohon maaf jika ada kata-kata saya yang menyinggung mas-mas sekalian, saya hanya orang bodoh yang tak sekolah," katanya merendah.
Kami melepas kepergian kakek misterius itu. Sebelum keluar dari gerbang, kutanyakan lagi namanya, kali ini nama lengkapnya. "Panggil saja Mbah Semar, supaya mudah diingat," katanya sambil tersenyum.
Kehadiran si kakek memberikan pelajaran berharga bagiku, bahwa hidup tak hanya soal memenuhi kebutuhan jasmani, tak sekedar makan, tak sekedar bekerja. Hidup lebih dari itu. Yang Maha Kuasa memberikan hidup untuk kita syukuri, untuk kita bagi dengan siapapun yang membutuhkan uluran tangan.
Dikirim oleh Leonardus Soepardjo, Jakarta.
Anda memiliki cerita menarik? Silakan kirim ke email: [email protected].