Kecenderungan terbentuknya stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), sejak ditemukannya tiga puluh tahun yang lalu, merupakan tantangan yang menarik sekaligus memprihatinkan. Jika jujur diakui, stigma dan diskriminasi telah menjadi hukuman sosial oleh masyarakat terhadap ODHA.
Bentuk perlakuan tersebut dapat beraneka ragam, seperti penolakan, diskriminasi, pengasingan, pengucilan, dan "pelecehan" terhadap para ODHA. Hal-hal ini nyatanya memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya hanya menyerang sistem imun tubuh berubah menjadi “mimpi terburuk” bagi para ODHA.
Kronisnya, kondisi ini malah membuat penyakit semakin bebas menularkan penyebarannya secara sengit, namun terselubung.
Selama ini, masyarakat cenderung lebih banyak membahas tentang sisi negatif HIV, seakan-akan mereka lupa bahwa seorang ODHA juga bisa mempunyai semangat untuk hidup dan berjuang melawan stigma yang berkembang di masyarakat.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Pak Frans dan Pak Benny (nama disamarkan) dari Yayasan Kotex Mandiri. Frans pertama kali mengetahui statusnya sebagai ODHA saat ia lulus sekolah, yaitu sekitar umur 19 tahun, dan sekarang ia sudah berumur 32 tahun.
“Saat pertama kali dinyatakan berstatus HIV positif, pasti down dan shock. Perasaan itu sudah pasti dirasakan, tidak bisa dihindari, dan saat itu adalah masa-masa sulit yang memang harus dilewati,” kata Frans saat ditemui di Yayasan Kotex Mandiri.
Masa paling buruk baginya adalah sepulang dari rumah sakit setelah mengetahui statusnya. Ia menarik diri dan tidak mau bersosialisasi.
Hal tersebut berlangsung hampir 2 minggu lamanya, sampai akhirnya ia bangkit lagi untuk memulai hidupnya yang baru, bertemu pendamping hidupnya, dan mempunyai anak.
Lain halnya dengan Benny, yang mengetahui statusnya sebagai ODHA setelah berjuang selama 13 tahun sampai saat ini. Walaupun sempat tepuruk dengan status HIV positifnya, Benny tetap berpikir positif karena ia mempunyai teman yang memberikan support.
Temannya sendiri pun berstatus HIV positif, sehingga mereka saling menyemangati dan saling support.
“Saya menjadikan hal tersebut sebagai contoh bahwa ternyata teman saya yang terkena HIV saja tetap bisa sehat, sembuh, dan beraktivitas normal. Kenapa saya tidak bisa,” ujarnya.
Banyak stigma negatif yang berhasil dipatahkan oleh Frans dan Benny, yaitu ODHA bisa menikah, memiliki pasangan hidup, dan anaknya tetap HIV negatif. Bahkan kondisi fisik keduanya seperti terlihat normal-normal saja.
Pesan Frans dan Benny untuk melawan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA adalah, sebagai ODHA, kita harus menunjukkan terlebih dahulu kepada keluarga, orang lain, dan masyarakat bahwa kita dapat sehat kembali, bisa beraktivitas dan bekerja seperti orang normal, dan tidak ada bedanya. Mindset dan persepsi orang mengenai HIV AIDS seharusnya sudah berubah perlahan-lahan, mulai dari penyakit mematikan menjadi penyakit kronis, sama halnya seperti diabetes, kolestrol, dan darah tinggi.
Semua harus dimulai dari diri kita sendiri sebagai seorang ODHA, walaupun terkadang informasi masih kurang. Asalkan kita patuh minum obat dan tidak takut terhadap penyakit HIV, maka kita akan menang melawannya.
“Walaupun saya berstatus HIV positif, hal tersebut tidak membuat saya menyerah dalam proses memperbaiki diri dan hidup saya. Adanya motivasi untuk menyemangati teman-teman lain yang belum mengetahui statusnya, karena dulu saya pernah berada di titik yang sama,” tutup Frans, yang sekarang menjadi Koordinator Pendamping Sebaya DKI Jakarta di Yayasan Kotex Mandiri.
Pengirim: Elysia Devina Fenando, mahasiswi London School of Public Relations, Jakarta.