Mencari komoditas rempah-rempah ke negara asalnya merupakan salah satu dari sederet motivasi bangsa barat untuk datang ke Nusantara. Sejak pertengahan abad ke-14, para pedagang Eropa tidak diperbolehkan lagi oleh pemerintah Turki Utsmani melakukan perdagangan di sekitar Laut Mediterania.
Setelah sampai di Hindia Timur (Indonesia sekarang), mereka melakukan eksploitasi rempah dan berhasil mengirimkan atau mengeskpor ke negaranya. Seperti Spanyol yang telah dapat mengangkut cengkeh khas Maluku dengan kapal Victorianya, begitu pun Belanda yang dapat mengirim 600.000 pon rempah-rempah, diantaranya berupa cengkeh dan pala.
Kemasyhurannya akan rempah-rempah yang sungguh melimpah pada waktu itu, membuat salah satu kepulauan di Indonesia, yaitu Kepulauan Maluku dijuluki bangsa barat sebagai Spice Islands (Kepulauan Rempah).
Tapi fakta di atas hanyalah sepenggal cerita kejayaan rempah-rempah Indonesia 400 tahun yang lalu. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana pangsa pasar rempah-rempah Indonesia di pasar global saat ini?
Berapa besar kontribusinya bagi perekonomian Indonesia sekarang? Masihkah rempah menjadi salah satu komoditi andalan?
Tentunya semua pertanyaan di atas linier dengan seberapa besar permintaan rempah- rempah dalam skala global saat ini. Apabila permintaan rempah-rempah masih tergolong tinggi, maka Indonesia yang notabenenya dikenal dunia sebagai penghasil rempah, seharusnya mendapat keuntungan besar dari perdagangan komoditi ini.
Namun berdasarkan data Trade Map 2019, potensi ekspor rempah Indonesia sebesar 1,6 milyar dolar AS, namun nilai ekspor aktualnya hanya 798 juta dolar AS, sehingga potensi ekspor rempah yang belum dimanfaatkan sebesar 844,5 juta dolar AS.
Sebagai negara pengekspor rempah-rempah di pasar dunia, Indonesia masih kalah dibandingkan negara Asia yang lain, seperti India, Vietnam serta China. Bahkan nilai ekspor aktul rempah Vietnam dua kali lebih besar daripada Indonesia.
Apabila pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatian yang penuh terhadap potensi ekspor yang tinggi tersebut, dikhawatirkan potensinya semakin direbut Vietnam, sehingga Indonesia akan kehilangan pasar potensial untuk memasarkan produk ekspornya.
Berdasarkan Laporan Akhir Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan Tanaman Semusim dan Rempah 2017 dari Direktorat Jenderal Tanaman Semusim dan Rempah Kementan, produksi rempah Tanah Air didominasi oleh lada, pala, dan cengkeh. Diantara ketiga komoditas tersebut, lada yang menduduki peringkat pertama sebagai komoditas ekspor.
Meskipun lada menduduki peringkat pertama, namun sumbangan komoditas lada terhadap total ekspor non migas relatif kecil, hanya sekitar 1 persen tiap tahun. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar petani belum menggunakan bibit unggul, selain itu hasil budidaya tanaman rempah yang sebagian besar dikelola adalah perkebunan rakyat yang pada umumnya bermutu rendah dan dalam bentuk produk primer menyebabkan produknya belum memiliki nilai tambah yang tinggi.
Sebenarnya selain tiga komoditas unggulan di atas, masih ada banyak komoditas lain yang termasuk dalam kelompok tanaman rempah-rempah seperti kayu manis, sereh wangi, kemiri yang dapat digenjot lagi produksinya. Beberapa komoditas tersebut memiliki potensi besar untuk ditingkatkan produksinya, apalagi kayu manis yang memiliki permintaan tinggi di pasar global.
Presiden Jokowi sebenarnya telah berkali-kali memberikan instruksi kepada Kementrian Pertanian untuk memberikan perhatian yang penuh terhadap produksi rempah-rempah dalam negeri. Berdasarkan laman Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah , perhatian pemerintah ditunjukkan dengan memberikan pos alokasi kepada tanaman rempah pada 2016 sebesar 5,5 triliun dolar AS.
Hal ini mengindikasikan adanya keseriusan pemerintah untuk memajukan produksi rempah-rempah, sebab dengan melesatnya ekspor rempah Vietnam memberikan warning tersendiri kepada pangsa pasar rempah Indonesia di pasar dunia, sehingga keseriusan pemerintah dinilai sangat beralasan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cengkeh dari perkebunan rakyat angkanya fluktuatif, dimana tahun 2014 produksinya sebesar 120,20 ribu ton, kemudian produksi tahun 2015 dan 2016 naik menjadi 137,7 ribu ton. Namun produksi cengkeh pada tahun 2017 mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 19 persen, atau setara dengan 26,3 ribu ton, padahal di tahun yang sama luas areal tanaman cengkeh meningkat hampir 3 persen.
Produksi cengkeh pada 2018 naik sekitar 9,35 persen menjadi 121,60 ribu ton. Pola produksi yang fluktuatif tersebut juga terjadi pada tanaman pala dan lada, dimana pada tahun 2017 produksi sama-sama mengalami penurunan.
Menurut Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia, I Ketut Budiman, terjadinya gagal panen pada produksi tahu 2017 disebabkan karena curah hujan yang tinggi di tahun tersebut. Menurutnya, ke depan, perlu dilakukan evaluasi mengenai persoalan tersebut, yang mana petani harus lebih aware terhadap prakiraan cuaca mengingat tanaman rempah dipanen hanya sekali setahun.
Berdasarkan data BPS, perkebunan rakyat mendominasi produksi rempah dalam negeri, maka diharapkan Kementan melalui Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah lebih meningkatkan sosialisasi kepada petani untuk menanam bibit tanaman unggul.