Mainan Tradisional Membentuk Ketahanan Diri Anak di Era Disrupsi Informasi

Fabiola Febrinastri
Mainan Tradisional Membentuk Ketahanan Diri Anak di Era Disrupsi Informasi
Anak dan gadget. (Shutterstock)

Dunia anak adalah dunia bermain. Oleh karena itu, maka wajar saja jika dalam aktivitas mereka sehari-hari, lebih banyak mainnya ketimbang belajarnya.

Tetapi sebenarnya, dari bermain itulah mereka belajar. Namun saat ini kita melihat, anak-anak terpaksa menjalani rutinitas keseharian yang sepi dan membosankan. Mereka menghabiskan waktu dengan menonton TV atau video sejak dini.

Demi mengusir rasa sepi dan bosan, orangtua pun meminta mereka mengikuti berbagai les. Yang lebih mencengangkan, di era disrupsi informasi yang ditandai dengan evolusi teknologi ini, hampir semua anak sudah difasilitasi dengan komputer atau gadget yang sudah tersambung internet.

Persentuhannya dalam kehidupan anak-anak sekarang pun sangat intensif. Bahkan saat ini, tidak aneh lagi melihat anak balita sudah menggunakan gadget.

Lantas banyak yang mempertanyakan, kenapa orangtua sekarang ini begitu mudah memberikan gadget untuk anak-anak mereka? Apakah ini indikasi bahwa bangsa kita benar-benar telah “melek” dengan produk-produk berteknologi tinggi tersebut?

Atau jangan-jangan hanya sekadar latah pada hal-hal yang berbau high-tech supaya anak terlihat pintar? Bahkan mungkin tuntutan gaya hidup dan lambang prestige?

Kita akui, hadirnya era disrupsi menyebabkan perubahan pola asuh terhadap orangtua terhadap anak. Pola asuh digital telah diterima sebagai kewajaran dalam kehidupan keluarga saat ini.

Betapa banyak orangtua menggunaan perangkat teknologi sebagai alat pengasuh anak mereka. Apalagi orangtua yang sibuk, memberikan gadget (laptop, tablet, smartphone, ipad, dan lain-lain alat-alat teknologi) kepada anak-anaknya, yang seolah bisa menyihir anak-anak untuk duduk manis berjam-jam tanpa mengganggu orang tuanya.

Namun di satu sisi, digitalisasi menjadi sebuah keniscayaan di era kemajuan teknologi informasi saat ini. Gadget pun ibarat dua sisi mata pisau. Sulit untuk mengisolasi anak dari perangkat teknologi digital.

Alih-alih bermaksud mencegah dampak buruk, itu akan membuat anak merasa terkucilkan dari pergaulan. Melarang anak menggunakan gawai sama dengan melarang anak hidup pada eranya.

Faktanya, pengguna internet terbesar di dunia saat ini adalah anak-anak. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data resmi yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, seperti dikutip dari laman resmi Kominfo, terungkap angka terbesar pengguna internet untuk komposisi berdasarkan usia ditunjukkan oleh masyarakat berumur 19 - 34, yakni sebesar 49,52 persen.

Namun untuk penetrasi terbesar berada pada umur 13 - 18, yakni sebesar 75,50 persen. Anak-anak berumur 5 hingga 9 tahun pun juga menggunakan internet, bahkan mencapai 25,2 persen dari keseluruhan sampel yang berada pada umur tersebut.

Jumlah angka pengguna internet yang meningkat dari tahun ke tahun justru tidak linear dengan meningkatnya kualitas hidup anak. Ironis saat ini anak memiliki kedekatan emosional yang luar biasa pada gadget.

Gadget adalah orang tua bagi anak, guru bagi anak dan teman sejati bagi anak, yang tanpanya anak-anak akan merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Gadget telah menjadi bagian dari masa kecil seorang anak dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya.

Membiarkan kedekatan anak dengan gadget bukanlah hal yang bijak bagi para orangtua. Hal ini justru merenggut masa kecilnya dan menyebabkan anak menjadi kecanduan. Implikasi ini berpengaruh pada tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun mental.

Penelitian telah membuktikan, penggunaan gadget pada anak usia belia khususnya di bawah lima tahun akan sangat berdampak pada lemahnya kemampuan motorik kasar (seperti melempar, menangkap, dan menendang bola) dan motorik halus (seperti bisa menulis nama sendiri, mengancingkan baju, dan lain-lain) serta kemampuan verbalnya. Anak-anak juga rentan mengalami obesitas karena ‘berolahraga’ hanya sebagai penonton dan pemain game.

Jika dalam hal fisik-motorik muncul perilaku pasif akibat pemakaian gadget, sebaliknya perilaku agresif yang dipicu emosi sosial justru menunjukkan gejala agresif bahkan kekerasan. Menurut penelitian pada kesenangan anak-anak bermain game, terlihat bahwa anak pada semua tingkatan umur lebih menyukai permainan yang bukan edukasi, namun yang berisi konten kekerasan dan sadisme.

Efek kuat game tersebut bisa mempengaruhi anak untuk mengubah karakternya dan hobi pada sesuatu yang buruk. Lihat saja anak sekarang lebih mudah tersulut emosi dengan mengeluarkan kata-kata kasar, memukul, ringan tangan, dan berteriak. Perilaku destruktif seperti perkelahian antar pelajar dan kasus bullying yang terjadi belakangan ini pun banyak yang dipicu oleh konten kekerasan di gadget.

Akibatnya anak-anak masa kini rentan menjadi ‘matang semu’. Hal inilah seperti yang dikhawatirkan Shin Yee-Jin, seorang psikiater anak berkebangsaan Korea Selatan dalam bukunya “Mendidik Anak di Era Digital” bahwa perangkat digital sangat besar pengaruhnya dalam menjadikan anak “matang semu”, yaitu kondisi dimana anak telah melawan kodratnya.

Rentannya pengaruh gadget, seharusnya menjadi acuan bagi para orangtua untuk menyiasati permainan yang tepat bagi perkembangan anaknya. Pada masa pertumbuhannya, anak masih membutuhkan kegiatan fisik serta interaksi sosial yang lebih banyak dengan orang-orang di sekelilingnya.

Ia tidak bisa dibiarkan larut dengan gadget yang sejatinya tidak dapat diandalkan untuk membentuk ketahanan diri.

Di tengah gempuran permainan modern, permainan tradisional atau permainan rakyat yang kini mulai dilupakan sesungguhnya punya banyak manfaat yang positif. Studi menunjukkan permainan tradisional sebagai salah satu bentuk dari kegiatan bermain diyakini lebih unggul dalam melatih ketahanan diri anak baik dari segi fisik maupun mental.

Debra Counts, M.D., seorang ahli pediatri di Rumah Sakit Anak Herman & Walter Samuelson di Baltimore (dikutip dari laman baltimore.cbslocal.com) menyatakan bahwa gadget bukanlah pilihan tepat untuk permainan edukasi anak. Walaupun permainan digital diklaim sebagai permainan yang edukatif, sesungguhnya permainan tradisional jauh lebih unggul nilai-nilai edukasinya. Permainan tradisional-lah yang dapat membantu perkembangan diri dan sosial anak.

Orangtua boleh berargumen jika saat ini permainan tradisional sudah ada yang dikemas dalam bentuk digital, sehingga mereka menilai hal tersebut tidak ada bedanya dengan permainan tradisional yang konvensional.

Tzeng & Huang di tahun 2010 pernah meneliti permainan hopscotch (engklek) dengan digital teknologi. Setelah dilakukan penerapan permainan hopscotch atau engklek tersebut kepada anak-anak maka peneliti mengaku bahwa nilai-nilai pendidikan menjadi hilang ketika permainan hopscotch atau engklek ini dimainkan secara digital dengan komputer.

Berbeda dengan permainan digital yang menggunakan lawan main berupa alat, permainan anak tradisional melibatkan pemain yang relatif banyak. Selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai dampak interpersonal yang lebih tinggi seperti petak umpet, congklak, dan gobak sodor.

Kegiatan ini juga sebagai cara mewariskan nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada atau sportivitas, dorongan berprestasi, dan taat pada aturan.

Dari sisi jasmani, permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal perkembangan motorik, termasuk melatih daya tahan fisik, daya lentur.

Selain itu, ada dorongan pada aspek kognitif seperti mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Engklek misalnya, menunjukkan bahwa permainan tradisional tersebut memiliki keunggulan dalam mengatasi permasalahan anak.

Permainan ini meningkatkan koordinasi dan keseimbangan tubuh. Seorang anak juga bisa belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan tersebut bisa jadi pengalaman dalam kehidupan nyata.

Dan yang lebih terpenting, mempopulerkan permainan tradisional anak berarti telah melestarikan budaya bangsa karena sarat dengan nilai filosofi. Inilah ketahanan diri yang diperlukan dalam menghadapi era disrupsi.

Pengirim : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak