5 Tantangan yang Sering Dihadapi Ketika Menjadi Petani

Munirah | Zidan
5 Tantangan yang Sering Dihadapi Ketika Menjadi Petani
Ilustrasi petani. (pixabay/Martin Fuhrmann)

Negara kita adalah negara agraris. Setidaknya itulah kalimat yang sering kita dengar di dalam dunia akademik yang menggambarkan bahwa betapa kayanya Indonesia ini sebagai sebuah negara yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas.

Indonesia memang sejak dulu sudah menjadi negara dengan penduduk mayoritas bekerja pada sektor pertanian. Bahkan dengan adanya keunggulan ini, negara kita pernah mengalami swasembada pangan di zaman orde baru dulu.

Meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun membuat pasokan pangan juga kian bertambah. Tentu ini berbanding terbalik dengan peningkatan produktifitas dan jumlah petani di berbagai daerah di Indonesia.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani hanya sekitar 33,4 juta petani. Ini berarti telah terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu sekitar 34,58 juta petani.

Atas dasar itulah Menteri pertanian mengusulkan utamanya kepada anak muda untuk beralih ke sektor pertanian yang dianggap menjanjikkan itu. Namun, sebelum anda mengambil keputusan untuk menjadi seorang petani mungkin ada baiknya untuk memperhatikan beberapa hal berikut ini.

1. Tidak ada jam kerja tertentu

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jam kerja pertanian tidak seperti apa yang dibayangkan pada jam kerja pada umumnya. Jika pada beberapa kerjaan terdapat jam tertentu yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tersebut maka dalam dunia pertanian hal tersebut tidaklah berlaku.

Kamu harus bisa mengatur waktu sendiri kapan harus ke sawah atau ke kebun dan tentunya kamu harus rela jam tidur kamu digunakan untuk bekerja. Hal ini karena gangguan pada tanaman berupa serangan hama tidak mengenal waktu.

Bisa saja hama datang tiba-tiba pada malam hari dan melahap semua tanaman yang sudah siap panen. Jadi, untuk meminimalisir hal itu terjadi sebaiknya kamu bersiap 24 jam.

2. Pekerjaan yang kotor

Petani adalah pekerjaan yang kotor. Bukan kotor dalam artian pekerjaan haram laiknya mafia, akan tetapi dalam artian yang sebenarnya. Petani sebagaimana yang kita tahu adalah orang yang bekerja di sawah yang penuh dengan lumpur.

Aktifitas petani yang setiap hari bekerja di bawah terik matahari akan membuat perubahan pada kulit tubuh. Jadi buat kamu yang tidak suka kotor dan masih sering menggunakan skincare maka sebaiknya tidak usah menjadi petani.

3. Mengandalkan otot dan otak

Tidak seperti pekerjaan kantoran yang dimana kekuatan otot tidak terlalu diperlukan dan otak sangat diperlukan, petani justru harus bisa menggunakan keduanya. Dalam menangani masalah hama misalnya, petani harus berpikir keras dan kreatif agar tanaman bisa bebas dari hama.

Kekuatan ototpun tidak kalah pentingnya. Petani harus bisa melakukan berbagai aktifitas dari membajak hingga pemanenan di sawah yang tentu tidak hanya bisa diselesaikan dengan otak saja namun juga dengan otot yang super kuat.

4. Alih teknologi yang lamban

Meski pada beberapa daerah sudah terjadi alih teknologi besar-besaran namun tampaknya hal ini hanya terjadi di beberapa daerah khususnya wilayah pulau jawa. Adapun para petani di pelosok masih kurang merasakan berbagai teknologi baru dalam bidang pertanian.

Sudah sering kita lihat bahwa teknologi pertanian di Indonesia masih sangat minim. Bayangkan saja, traktor pembajak sawah yang digunakan pada tahun 90-an masih sering digunakan hingga hari ini. Tidak jarang bahkan masih ada petani yang menggunakan bajak sawah kerbau.

Tentu ini mengindikasikan teknologi pertanian yang masih kurang. Masyarakat Indonesia masih minim pengetahuan soal teknologi pertanian. Disaat negara-negara lain sudah menggunakan teknologi pertanian canggih, masyarakat Indonesia masih menggunakan mesin-mesin ataupun cara-cara tradisional dalam pertaniannya.

5. Ketersediaan pupuk bersubsidi yang kurang

Salah satu kendala petani di indonesia saat ini adalah masalah pupuk bersubsidi yang kuotanya terbilang sedikit. Banyak dari petani mengeluhkan kuota pupuk subsidi yang setiap tahun selalu menipis. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, pupuk bersubsidi kini di sesuaikan dengan luas kepemilikan lahan bagi petani dan dibagi berdasarkan kelompok tani.

Disamping untuk mengefektifkan pengelolaan anggaran oleh pemerintah pusat, ini juga dilakukan agar petani tidak saling berebutan dalam memiliki pupuk bersubsisidi. Namun, ini justru dikeluhkan oleh banyak petani. Menurut mereka bahwa penggunaan pupuk yang sedikit pada tanaman tidak akan banyak berpengaruh pada kesuburan tanaman.

Dikutip dari website dpr.go.id bahwa masih banyak petani yang tidak kebagian pupuk subsidi meski sangat membutuhkan. Berdasarkan data selama 10 tahun terakhir, rata-rata perbandingan peningkatan jumlah subsidi pupuk tidak seiring dengan peningkatan produksi dan produktifitas. Pencapaian selama 10 tahun, hanya memperoleh produksi 30,9% dan produktivitas sebesar 13,2%.

Itulah beberapa hal yang harus kamu pertimbangkan betul-betul sebelum beralih profesi menjadi petani. Jadi, siap menjadi petani?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak