Pandemi Covid-19 yang mengharuskan beragam kegiatan dilakukan melalui ruang virtual nyatanya menimbulkan beragam dampak negatif. Biasnya antara waktu istirahat dan bekerja selama kegiatan sehari-hari digelar secara daring, membuat banyak orang khususnya generasi muda untuk terus bekerja secara berlebihan, hingga mengorbankan waktu istirahat dan memangkas waktu luang.
Hal ini menyebabkan fenomena hustle culture atau bekerja secara berlebihan banyak menjerat kaum muda, terlebih para mahasiswa. Anggapan bahwa semakin banyak jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dan juga semakin banyaknya kegiatan yang diikuti akan semakin dekat meraih kesuksesan, membuat kaum muda berlomba-lomba mengikuti beragam kegiatan yang memangkas habis waktu istirahat.
Dikutip dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, fenomena hustle culture ini pertama kali ditemukan pada tahun 1971 dan semakin berkembang pesat, terutama di kalangan milenial.
Namun, di masa sekarang, saat pandemi Covid-19 menggila di seluruh dunia dan maraknya seruan untuk tetap melakukan kegiatan produktif dari rumah, membuat tren hustle culture juga menyerang generasi Z yang sebagian besar adalah para mahasiswa.
Hustle culture seolah menjadi budaya dan tren baru di tengah kehidupan kaum muda saat ini. Produktivitas yang berlebih dianggap menjadi tolak ukur untuk menggapai kesuksesan.
Semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja, kian dekat dengan jalan kesuksesan meskipun harus melakukan kegiatan di luar porsinya. Fenomena hustle culture ini justru membuat kalangan anak muda, terutama para mahasiswa di Indonesia merasa bangga jika dilihat selalu sibuk atau over work.
Kegiatan yang dilakukan dalam waktu bersamaan dan menuntut untuk seseorang menjadi multitasking hanya akan mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan dan juga berisiko buruk bagi kesehatan.
Fenomena hustle culture saat ini banyak menjerat mahasiswa di Indonesia. Selama pandemi Covid-19 dan seluruh kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara jarak jauh, membuat mahasiswa banyak melakukan kegiatan lain di luar kegiatan akademik secara berlebihan.
Organisasi, kepanitiaan, unit kegiatan mahasiswa, volunteer, magang, hingga bekerja yang banyak dilakukan mahasiswa bahkan dalam waktu bersamaan, beriringan dengan berbagai kegiatan pembelajaran sehari-hari.
Ambisi untuk bisa bersaing di dunia perkuliahan dan dunia kerja yang nantinya akan dihadapi membuat mahasiswa banyak mengikuti kegiatan agar terlihat produktif yang kemudian dapat menjadi bekal untuk mengisi curriculum vitae, sebelum nantinya melamar pekerjaan yang diimpikan.
Ditambah dengan banyaknya influencer di sosial media yang mengajak untuk senantiasa produktif dan memamerkan beragam pencapaian maupun kegiatan yang diikuti, membuat banyak mahasiswa ter-influence untuk mengikuti jejaknya, agar tidak tertinggal dengan teman-teman yang lain.
Keinginan untuk tetap terus produktif agar tidak mengalami ketertinggalan dengan orang lain menjadikan kehidupan mahasiswa selama pandemi seperti tengah melakukan perlombaan. Berlomba-lomba mengikuti banyaknya kegiatan baik offline ataupun online, berlomba-lomba menjadi yang paling sibuk, hingga berlomba-lomba menjadi pemilik pengalaman terbanyak.
Selain itu, mahasiswa juga dituntut untuk senantiasa mempertahankan nilai akademiknya, beriringan dengan beragam kegiatan yang diikuti. Kecemasan seperti takut tertinggal dari teman-teman, nilai menurun, hingga mencemaskan kehidupan mencari kerja setelah lulus memicu mahasiswa untuk menjadi gila kerja di masa pandemi, dan tidak ingin menyia-nyiakan waktu barang semenit pun untuk berleha-leha. Mereka lebih memilih mempergunakan waktu untuk mengikuti banyak kegiatan.
Pemikiran untuk harus selalu produktif dengan mengikuti banyak kegiatan di luar akademik dan juga harus seiring dengan mempertahankan nilai akademik, hingga memangkas waktu istirahat dan waktu luang, nyatanya berdampak buruk bagi kesehatan mental mahasiswa.
Beragam masalah psikologis yang sering muncul dan menyerang mahasiswa selama masa pandemi di antaranya rasa cemas berlebih, stres, depresi hingga berujung burnout. Burnout adalah kondisi di mana seseorang merasa stres dan kelelahan secara fisik dan mental, hingga mengalami penurunan kinerja serta menghambat produktivitas (Satriyo, Survival, 2014).
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei secara daring mengenai kesehatan mental selama pandemi Covid-19 dengan total responden sebanyak 4.010 orang.
Hasil menunjukkan bahwa 64,8% responden mengalami masalah psikologism dengan proporsi 64,8% mengalami cemas, 61,5% responden mengalami depresi, dan 74,8% mengalami trauma. Masalah psikologis tersebut paling banyak dialami oleh responden dengan rentang usia 17-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran online dan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muda sangat berdampak pada kesehatan mentalnya.
Sementara itu, pada 3-14 Agustus 2021 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor berkolaborasi dengan tim peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan survei online dengan total responden 20.819 yang tersebar di kelurahan Kota Bogor dengan rentang usia 18-55 tahun, terkait dengan penyakit baru yang dialami selama pandemi Covid-19.
Hasil menunjukkan bahwa penyakit baru yang paling banyak diderita adalah hipertensi dan gangguan kesehatan mental. Mahasiswa menjadi kelompok responden yang mendominasi gangguan kesehatan mental.
Selain berdampak buruk bagi kesehatan mental, jam kerja yang panjang dan dilakukan secara terus menerus juga berdampak buruk bagi kesehatan fisik. Menyadur dari Halodoc, hustle culture menyebabkan meningkatnya tekanan darah dan detak jantung.
Pasalnya kegiatan yang berlebihan dan hal ini berkontribusi terhadap resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulasi dan iskemia yang nantinya akan menyebabkan penyakit diabetes. Orang-orang yang bekerja selama 55 jam perminggu juga akan meningkatkan fibrasi atrium, yang akan menyebabkan irama jantung tidak teratur dan menyebabkan gumpalan darah yang kemudian menjadi penyebab penyakit stroke.
Dengan banyaknya dampak negatif yang mengancam kesehatan fisik dan mental, tak lantas membuat para mahasiswa berhenti untuk melakukan tren gila kerja ini. Mereka beranggapan bahwa lebih baik berlelah-lelah dengan setumpul tugas dan kegiatan ketika kuliah, dibandingkan lulus dan bergelar sarjana dengan minim pengalaman yang akan mempersulit ketika mencari pekerjaan.
Anggapan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Namun, sebagai manusia yang memiliki limot, tentu kita harus mendahululan kesehatan fisik dan mental kita di atas segalanya. Sepanjang tahun 2020 hingga 2021 pun tak sedikit kasus mahasiswa yang meninggal akibat sakit ataupun bunuh diri karena terlalu depresi dengan segala persoan mengenai dunia perkuliahan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian penting untuk kita semua.
Melakukan kegiatan dengan sehat dan sesuai porsinya tentu akan menghindari kita dari beragam dampak negatif di atas. Pertanggungjawaban atas kegiatan akademik dan non akademik juga tetap perlu diperhatikan.
Selama kegiatan dilakukan secara online, kita harus mampu untuk membagi waktu untuk bekerja, belajar, istirahat dan melakukan hobi dan kegiatan yang disuka agar terhindar dari stres, kecemasan berlebih, depresi dan juga burnout.
Perlu adanya batasan yang bisa menjadi “rem” agar diri sendiri tidak melakukan kegiatan yang terlalu banyak dan berlebihan. Tidak perlu membandingkan diri dengan pencapaian orang lain dan fokus terhadap diri sendiri, menjadi kunci untuk tidak memforsir diri mengikuti standar yang orang lain buat. Pasalnya kapasitas setiap orang berbeda-beda dan yang diri kita perlu lakukan adalah mengutamakan kesehatan diri sendiri.
SUMBER:
Fauziyyah, Rifa, Riska Citra, dan Besral. 2021. Dampak Pembelajaran Jarak Jauh terhadap Tingkat Stress dan Kecemasan Mahasiswa selama Pandemi COVID-19. Vol. 1 (2). Hal 114.
Satriyo, Moch. dan Survival. 2014. Stres Kerja Terhadap Burnout Serta Implikasinya Pada Kinerja. Vol. 3 (2). Hal 53.