Tren Hustle Culture pada Masa Pandemi

Hernawan | Widya Ayu Larasati
Tren Hustle Culture pada Masa Pandemi
Ilustrasi stress kerja (Pexels/Tara Winstead)

Semenjak adanya pandemi Covid-19 di Indonesia, para anak muda berlomba untuk mencari kesibukan di tengah dunia yang berhenti beroperasi akibat wabah ini. Pandemi Covid-19 mengakibatkan lebih dari setengah penduduk dunia saat ini kehilangan pekerjaan, sehingga membawa dampak kepada para anak muda yang mudah dirundung rasa khawatir. Mereka menganggap bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan mendapatkan kesibukan agar waktu yang digunakan tidak terbuang. Mereka menganggap dengan tidak adanya waktu istirahat dan bekerja keras tanpa henti dapat menjadikan dirinya cepat sukses.

Fenomena gaya hidup para anak muda ini disebut “gila kerja” atau hustle culture. Budaya hustle culture kini merajalela di Indonesia, 3 dari 9 pekerja merupakan penderita gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebih. Terlebih lagi pada masa pandemi yang marak dengan seruan agar anak muda tetap produktif dari rumah, melahirkan tren hustle culture yang perlu kita tindaklanjuti dengan langkah yang benar.

Fenomena hustle culture tidak hanya dirasakan oleh pekerja saja. Budaya ini bahkan dimulai saat seseorang masih menjadi mahasiswa ataupun duduk di bangku sekolah. Para mahasiswa yang berlomba untuk mengikuti organisasi kampus, magang, kegiatan sukarelawan, seminar, workshop, dan kegiatan kepanitiaan apa pun demi memenuhi daftar riwayat hidup mereka.

Para siswa sekolah yang mengikuti banyak ekstrakurikuler, bimbingan belajar, les bahasa asing, lomba, dan organisasi agar memiliki banyak pengalaman dan memperluas jaringan mereka. Hal tersebut sangat penting, tetapi mereka lupa bahwa masa-masa remaja hanya sekali seumur hidup dan tidak dapat terulang. Mereka luput menikmati masa muda mereka hanya untuk sekadar menikmati hidup tanpa mengemban tanggung jawab layaknya orang dewasa.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan lahirnya gaya hidup ini di tengah-tengah anak muda, seperti kemajuan teknologi, konstruksi sosial, dan toxic positivity. Internet dan gadget merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam perkembangan pesat teknologi. Hampir semua anak muda menggunakan gadget, sehingga mereka mempunyai sarana untuk bekerja dengan mudah.

Semua hal dapat dilakukan hanya dengan melalui gadget, kapan saja dan di mana saja, seperti membuat presentasi, mengirim dan membalas e-mail, melakukan panggilan video dengan atasan atau klien, hingga melangsungkan diskusi antar tim. Namun justru, teknologi ini dapat membuat seseorang bekerja keras tanpa henti. Kemudahan dalam mengakses pekerjaan kantor ini seperti memaksa para anak muda untuk bekerja terus menerus hingga lupa waktu sehingga tidak memedulikan ketenteraman dirinya sendiri.

Lingkungan sosial seseorang juga dapat memengaruhi gaya hidup orang tersebut. Banyak orang mematokkan kesuksesan hidup seseorang adalah ketika memiliki jabatan dan kondisi finansial yang baik. Terbentuklah standar yang mewajibkan anak muda harus mapan sebelum umur 30, sehingga mereka terpacu untuk bekerja tidak mengenal lelah hanya demi dipandang sukses oleh masyarakat dan lingkungan sekitar. Tujuannya memang baik, tetapi dampak yang ditimbulkan bisa sangat buruk efeknya.

Keproduktifan saat ini sangat diagung-agungkan oleh anak muda. Menurut mereka, ketertekanan batin apa pun yang mereka alami harus dihadapi dengan positif. Maka mereka melakukan hal apa pun demi memperoleh gaya hidup yang produktif, tanpa peduli jika harus mengalami situasi yang tertekan. Hal tersebut menyebabkan toxic positivity pada pikiran mereka. Akibatnya, banyak anak muda yang kemudian frustasi dan stres, tetapi segan meluapkan emosinya, karena dipaksa untuk tetap tangguh dalam kondisi tersulit sekali pun.

Para anak muda mementingkan produktivitas, pekerjaan, dan pendapatan dibanding kesehatan mental, hubungan sosial dengan orang lain, dan kebahagiaannya sendiri. Namun, mereka tidak sadar bahwa dampak hustle culture dapat menghancurkan diri dan masa depan mereka.

Tidak hanya dapat mengalami gangguan kesehatan mental, hustle culture dapat meningkatkan risiko penyakit serangan jantung dan penyakit jantung koroner. Jam kerja yang tidak mengenal waktu ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan detak jantung karena aktivitas psikologis yang berlebihan. Masih banyak lagi dampak negatif dari budaya hustle culture, maka kita sebagai anak muda harus memiliki keseimbangan hidup yang baik agar tetap terjaga dan tidak terbelenggu dalam budaya hustle culture.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak