Belajar teori sosial, khususnya bagi mahasiswa sosiologi itu susah-susah gampang, sebelas dua belas ibarat memahami berbagai kode yang diberikan oleh seorang perempuan. Jika salah sedikit saja memahaminya, ya udah, kelar seluruh jagad alam raya ini. Salah sedikit saja memahami teori sosial, hancur sudah sebuah skripsi. Bahkan nggak hanya urusan akademik, propaganda pada PKI yang kemarin di Orba itu ya gara-gara salah memahami teori-teori Marx, dan berujung pada darah.
Di sebuah ruang diskusi, saya ditanyai oleh salah seorang untuk memberikan tips bagaimana belajar teori sosial. Pasalnya, di dalam studi sosiologi sendiri, kunci suksesnya selain kuat dalam metodologi penelitian sosial, juga harus kuat dalam pemahaman teoritiknya.
Melalui tulisan ini saya sedikit lebih melengkapi dari jawaban saya atas pertanyaan di ruang diskusi tersebut. Dan, sebenarnya saya perlu berterimakasih juga dengan Prof. Ramlan Surbakti yang telah mengkonseptualisasi cara-cara memahami teori sosial. Namun, di tulisan ini saya mencoba memodifikasi pikiran beliau agar lebih mudah dipahami dan barangkali sedikit melengkapi untuk perkembangan kontemporernya.
1. Baca pengalaman kehidupan tokoh pencetus teori
Hal yang paling awal, adalah ikut serta dalam sebuah pengalaman kehidupan tokoh pencetus teori sebelum memahami teorinya. Masih relatif mudah dilakukan, karena nggak jauh berbeda dengan membaca novel, yang penuh dengan cerita menarik dan tidak sedikit tragedi menyertai.
Melalui pemahaman tentang pengalaman hidup si tokoh pencetus teori, kita dapat belajar tentang karakter, gaya berpikir, maupun tragedi-tragedi pengalaman hidupnya yang justru mempengaruhi gagasan teori yang dikemukakan.
Foucault misalnya, pernah ngaku sebagai homoseksual, yang akhirnya dianggap menyimpang, aib bahkan memiliki gangguan kepribadian oleh psikiaternya. Dari pengalaman itu, ia melahirkan sebuah gagasan tentang pengetahuan yang hanya bisa diproduksi oleh kekuasaan. Gila, gangguan mental, atau lainnya itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang berkuasa di bidang itu, yakni psikiater. Benar salah adalah persoalan siapa yang berkuasa.
2. Pahami realitas sosial ketika tokoh tersebut hidup
Sedikit ke level yang lebih tinggi, bagi mahasiswa sosiologi juga perlu tahu kondisi lingkungan sekitar ketika seorang tokoh itu hidup sebelum membaca teorinya yang begitu rumit. Bagaimana sih kondisi sosial politik yang sedang berkecamuk saat itu. Apa sih yang sedang terjadi saat si tokoh ini hidup.
Nggak sedikit gagasan-gagasan teoritis para tokoh sosiologi itu merupakan kritik, atau sekurang-kurangnya respon dari fenomena yang terjadi ketika ia hidup. Nggak ada teoritisi sosial yang gagasannya merupakan respon dari masa depan, cenayang dong jadinya, ngeramal ala dukun-dukun. Meskipun ada teoritisi yang memprediksi masa depan, itu pasti nggak bisa dipisahkan dari realitas yang terjadi ketika ia hidup.
Saya mencontohkan tentang ungkapannya Marx, “Die Religion … ist das Opium des Volkes,” agama adalah candu masyarakat. Untuk memahami kalimat ini, kita nggak bisa mentah-mentah hanya memahami dari teksnya aja seperti propaganda era orba itu, tapi juga pahami konteknya kenapa kok Marx ngomong gitu.
Jadi, saat kalimat itu ditulis, sebenarnya Marx itu mengkritik otoritas agama yang kala itu kong kali kong dengan penguasa untuk mengontrol masyarakat. Marx nggak ngeritik agamanya, tapi ia mengkritik otoritas agama yang memanfaatkan agama untuk meninabobokan masyarakat.
3. Kenali tokoh yang mempengaruhi
Sepanjang saya belajar teori sosial, belum ada satupun saya temukan tokoh-tokoh pencetus teori itu dapat ilmunya dari model laduni, ujug-ujug pinter, ujug-ujug dapat wahyu. Semuanya pasti belajar, semuanya pasti berguru atau sekurang-kurangnya berdiskusi dengan koleganya, entah secara langsung maupun dengan membaca buku.
Oleh karenanya, kita perlu tau juga, siapa sih guru dari tokoh si A, siapa sih sahabat dari tokoh B, yang memang mempengaruhi gagasannya. Marx misalnya yang punya kolega Friedrich Engels dan banyak berguru pada Hegel. Atau Foucault, yang banyak berguru pada Nietzsche, dan Nietzsche belajar banyak dari Schopenhauer. Begitupun Herbert Blumer yang banyak belajar dan melengkapi teori dari gurunya Herbert Mead.
Nah, dari sini kita bisa tau apakah teori dari seorang tokoh itu mengkritik teori sebelumnya seperti Marx mengkritik Hegel, atau hanya sekadar melengkapi teori sebelumnya seperti Blumer pada gurunya Mead.
4. Telusuri pertanyaan yang mengusik pikiran
Ibarat sebuah penelitian sosial, pasti ada rumusan masalahnya, pasti ada pertanyaan mendasar, yang bermasalah, yang diajukan. Begitupun dengan teori itu pasti berawal dari pertanyaan-pertanyaan problematis, sebelum muncul suatu teori. Apa sih yang menjadi sebuah kegelisahan dari pencetusnya, apa sih yang mengusik pikirannya, apa, apa dan apa.
Peter L. Berger misalnya, pertanyaan mendasarnya itu gimana sih memahami pengetahuan yang dimiliki masyarakat itu, yang kompleks, yang serba rumit itu? Akhirnya ia menemukan tiga konsep dialektis dalam teori konstruksi sosialnya, dari eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
5. Petakan kata kunci teorinya
Bagi kebanyakan mahasiswa sosiologi pasti tau kalo teori-teori sosial itu memuat beragam diksi, kata ataupun konsep yang sangat rumit, dengan bahasa-bahasa yang jelimet nggak karuan, yang seolah-olah itu seperti wahyu ilahiah yang sulit untuk ditafsirkan. Dan, kenyataannya itulah yang terjadi, setiap teori pasti punya kata yang khas, yang unik, yang memang hanya digunakan oleh tokoh itu.
Oleh karenaya, seorang mahasiswa sosiologi itu perlu memetakan, kalau perlu buat seperti kamus pegangan yang memuat kata-kata kunci dari suatu teori. Nah, dari situ kita bisa agak mudah memahami apa sih yang sebenarnya dikarepi oleh si tokoh pencetusnya.
6. Paradigma apa yang digunakan
Untuk lebih memudahkan memahami teori sosial lagi adalah pahami paradigmanya. Kira-kira suatu teori ini masuk kelompok mana, masuk rumpun mana, tergolong dalam persekutuan mana. Nggak bisa dong kita ujug-ujug memahami teori yang sebenarnya berskala besar, eh kita memahaminya dengan pola pikir lokalitas. Gampangnya, pahami buku-buku paradigma seperti miliknya Ritzer, itu dah lumayan lengkap banget sih menurut saya.
7. Kenali tokoh-tokoh generasi penerusnya
Terakhir, yang barangkali juga melengkapi tips dari Prof. Ramlan Surbakti, adalah mahasiswa sosiologi juga perlu tuh mengenal tokoh-tokoh generasi penerus dari tokoh utamanya, atau murid dari tokoh utama itu siapa. Jacques Derrida misalnya dengan penerus pemikirannya yakni Héléne Cixous dan Mohammed Arkoun. Atau Foucault dengan penerusnya Giorgio Agamben, Edward Said dan Judith Butler. Nah, dari sini kita bisa memahami suatu teori dengan lebih mudah dari persepektif tokoh lain. Bahkan kita bisa tau titik-titik kelemahan dari teori utamanya itu apa saja.
Itu tujuh kiat yang menurut saya wajib banget dilakukan oleh mahasiswa sosiologi ketika belajar teori sosial secara kompleks, nggak berat sebelah, dan tentunya terjauh dari prasangka-prasangka negatif tentangnya.