Perubahan sosial merupakan sebuah dinamika sosial yang kerap kali ditemui di kebanyakan masyarakat. Salah satunya mengenai modernisasi yang tidak sedikit mengubah institusi di masyarakat. Tidak hanya institusi dalam skala besar seperti institusi pemerintah, institusi sekolah, intitusi agama, dan yang lainnya, bahkan institusi dalam skala kecil sekalipun seperti intitusi keluarga juga tak kalah ikut berpartisipan dalam perubahan sosial ini.
Seiring arus modernisasi, intitusi keluarga juga mengalami perubahan struktur di dalamnya. Awalnya, struktur keluarga di masyarakat merupakan keluarga dengan tipikal atau skala yang besar atau luas. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, struktur keluarga juga mengalami perubahan menjadi keluarga batih, inti atau keluarga dengan skala yang lebih kecil.
Apa itu Keluarga Besar dan Keluarga Batih? Sederhananya keluarga besar, biasanya sering ditemui dalam masyarakat tradisional, yang terdiri dari banyak anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu, anak, kakek, nenek, bahkan paman, bibi serta keponakan-keponakannya. Sehingga dalam keluarga besar, sekurang-kurangnya terdapat tiga generasi. Berbeda dengan itu, keluarga batih, bisa juga disebut sebagai keluarga inti, sering ditemui dalam masyarakat modern, yang terdiri dari minimal satu generasi yakni istri dan suami, atau maksimal dua generasi ditambah anak.
Kedua model keluarga ini bukanlah sebuah model yang eksis secara bersamaan dalam satu masyarakat, melainkan kedua model keluarga ini lebih pada sebuah fase peralihan struktur keluarga. Tentu saja ini menjadi pertanyaan besar, mengapa struktur keluarga mengalami perubahan sosial, dari keluarga besar menuju keluarga batih?
Di sini saya mengacu pada beberapa artikel yakni dari Ilori Oladapo Mayowa (2019) yang berasal dari Department of Sociology, Faculty of The Social Sciences, Ekiti State University, Ado Ekiti, sebuah negara bagian Ekiti, di Nigeria, dengan artikelnnya yang berjudul “Family Institution and Modernization: A Sociological Perspective”. Kemudian juga mengacu pada Profesor Sofian Effendi dan Sukamdi (1994) yang berasal dari Universitas Gadjah Mada daengan artikelnya yang berjudul “Perubahan Struktur dan Peranan Keluarga dalam PJP II”. Dari kedua tokoh tersebut setidaknya terdapat tiga alasan mengapa struktur keluarga mengalami perubahan dari keluarga besar menuju keluarga batih.
1. Karena kehadiran institusi sosial lain yang menggantikan fungsi keluarga
Di keluarga besar, peran pendidikan khususnya moralitas, pengawasan dan pengasuhan anak dilakukan oleh anggota keluarga. Namun, seiring dengan modernisasi, intitusi sosial seperti sekolah, pengadilan, polisi, penitipan anak, pengasuh anak dan lain sebagainya itu mulai bermunculan. Bahkan di Indonesia adapula asrama atau pesantren, yang disebut Goffman (1961) sebagai “institusi total” yang secara menyeluruh merawat maupun mendidik anak dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Oleh karenanya, intitusi sosial semacam ini secara tidak langsung memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk dapat menciptakan keluarga batih mereka. Pasalnya, para orang tua di keluarga batih tidak lagi kerepotan untuk merawat anak mereka, karena telah ada institusi sosial lain yang dapat merawat anak mereka. Sehingga keluarga batih tidak lagi bergantung pada kakek nenek atau kerabat lain, dan mereka dapat melepaskan diri dari keluarga besar.
2. Karena mobilitas sosial
Terbentuknya keluarga batih dikarenakan terjadinya mobilitas sosial kaum muda, yang memaksa perpindahan tempat tinggal dan memisahkan para suami istri dengan orang tua/kakek nenek dan kerabat mereka. Para kaum muda ketika memperoleh pekerjaan atau merantau di kota bersama suami/istri mereka, maka mau tidak mau mereka harus memisahkan diri dengan orang tua yang berada di desa dan membetuk keluarga batih di perkotaan. Misalnya, seseorang diterima PNS di daerah lain yang bukan tempat tinggalnya, maka mau tidak mau ia harus meninggalkan orang tua mereka.
Melalui mobilitas ini kemudian menciptakan “jarak” atau yang disebut Sosiolog Max Weber (1993) sebagai “spatial separation” (pemisahan spasial), bahwa mobilitas penduduk yang tinggi memperbesar kemungkinan anak untuk meninggalkan dan berjauhan dengan orang tua mereka dan membentuk keluarga batih tersendiri.
3. Perbedaan nilai budaya
Kemajuan pembangunan, mobilitas status sosial dan modernisasi berdampak pada perbedaan nilai budaya yang tajam antara orang tua dan anak, baik itu dari segi perilaku, persepsi, dan lainnya. Sehingga pada akhirnya akan sangat sulit untuk menggabungkan keduanya dalam satu kehidupan keluarga besar. Ini menjadi penyebab mengapa seorang anak yang sudah menikah, berkeinginan untuk sesegera mungkin memisahkan diri dengan orang tua mereka, karena mereka memiliki nilai budaya yang berbeda dengan orang tua.
Misalnya saja dalam konteks perilaku konsumsi. Masyarakat generasi X dan Baby Boomers yang berasal dari keluarga besar, cenderung memasak sendiri makanan keseharian keluarga. Berbeda dengan generasi Z dan Y atau milenial yang berasal dari keluarga batih, cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, makanan yang sudah matang tanpa memasaknya terlebih dahulu. Perilaku konsumtif masyarakat modern dari keluarga batih ini tidak terlepas dari arus modernisasi yang memfasilitasi konsumsi makanan mereka yang dapat dibeli secara online dan instan.