Fenomena Lipstick Effect: Korban FOMO atau Memang Tak Bijak Mengatur Uang?

Hikmawan Firdaus | Sabit Dyuta
Fenomena Lipstick Effect: Korban FOMO atau Memang Tak Bijak Mengatur Uang?
ilustrasi fenomena lipstick effect padamasyarakat (pixabay/Karolina Grabowska)

Belakangan ini, berita ekonomi yang beredar tampaknya tak jauh dari suasana suram. Gelombang PHK di berbagai sektor, kenaikan harga akibat inflasi yang tak kunjung reda, hingga sulitnya mencari pekerjaan kini menjadi perbincangan sehari-hari.

Namun, ada fenomena kontras yang menarik di tengah kondisi tersebut, di mana pusat perbelanjaan tetap ramai, kedai kopi premium selalu dipenuhi pengunjung, konser internasional habis terjual dalam hitungan menit, dan peluncuran gadget terbaru selalu disambut antrean panjang. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Mungkin inilah yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai Lipstick Effect, sebuah fenomena yang kini kembali ramai dibicarakan, di mana masyarakat tetap mengonsumsi barang-barang yang dianggap mewah meskipun dalam kondisi ekonomi yang menantang.

Istilah ini berawal saat Leonard Lauder dari Estée Lauder mencatat peningkatan penjualan lipstik di masa resesi. Kini, fenomena tersebut tak lagi terbatas pada lipstik. Skincare mahal, smartphone flagship, hingga tiket konser bernilai jutaan rupiah menjadi "lipstik" masa kini. Di era digital seperti sekarang, FOMO (Fear of Missing Out) menjadi pemicu utama fenomena ini.

Media sosial menjadi panggung utama dalam menciptakan standar gaya hidup yang seolah wajib diikuti. Paylater dan cicilan menjadi 'tongkat ajaib' yang memungkinkan gaya hidup ini bertahan, menciptakan lingkaran berbahaya dimana dana darurat terkuras dan investasi masa depan terabaikan.

Namun, perilaku ini juga bukan semata-mata soal ketidakmampuan mengatur uang. Penelitian dalam bidang Behavioral Economics sempat menghubungkan belanja impulsif dengan pengurangan stres dan pencarian kebahagiaan sementara. Daniel Kahneman, melalui konsep prospect theory, menunjukkan bahwa saat menghadapi ketidakpastian, orang cenderung mengambil keputusan berdasarkan emosi daripada logika, termasuk dalam pola konsumsi mereka.

Hal ini menjelaskan mengapa di masa sulit, orang justru lebih mudah terdorong untuk berbelanja, baik karena FOMO maupun mencari pelepasan emosional.

Jadi, apakah semua ini murni karena takut ketinggalan atau sebenarnya kurang bijak dalam mengatur uang? Mungkin jawabannya adalah kombinasi keduanya. Memang, mencari kebahagiaan dari hal-hal kecil itu manusiawi, namun literasi keuangan juga penting agar kita tidak terbawa arus konsumsi yang malah merugikan diri sendiri di masa depan.

Dan meskipun fenomena Lipstick Effect ini bisa membantu mempertahanan rasa “waras” di masa sulit, penting untuk lebih bijak dalam membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Dengan begitu, keseimbangan antara kebahagiaan jangka pendek dan stabilitas finansial jangka panjang dapat tetap terjaga.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak