Silent Message: Pisau Bermata Dua dalam Komunikasi Online

Hernawan | Sherly Azizah
Silent Message: Pisau Bermata Dua dalam Komunikasi Online
Ilustrasi silent message (Pexels/Kindel Media)

Di era digital, kita terus-menerus berkomunikasi melalui layar, namun terkadang keheningan menjadi bagian paling lantang dari pesan. Tidak membalas chat, yang sering disebut dengan istilah "ghosting" atau sekadar diam, telah menjadi fenomena komunikasi modern. Menariknya, tindakan diam ini bukan hanya soal lupa atau sibuk, melainkan sering kali menjadi pesan tersirat dengan makna tertentu.

Menurut studi dari Fox dan Moreland (2015) dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, perilaku komunikasi online, termasuk tidak merespons pesan, dapat mencerminkan pola hubungan interpersonal seseorang. Misalnya, seseorang mungkin sengaja tidak membalas untuk menyampaikan ketidaksetujuan, menjaga jarak, atau sekadar menghindari konflik tanpa harus mengatakan sepatah kata pun. Ini adalah bentuk komunikasi pasif-agresif yang semakin diterima dalam budaya digital.

Namun, tidak selalu "silent message" ini bermakna negatif. Terkadang, seseorang tidak membalas karena ingin menghindari percakapan yang dianggap tidak produktif atau kurang relevan. Dalam konteks ini, diam adalah bentuk seleksi komunikasi. Alih-alih merasa bersalah, banyak yang menganggap ini sebagai cara untuk menjaga kesehatan mental di tengah banjir notifikasi yang tak henti-hentinya.

Masalahnya, komunikasi yang tidak seimbang dapat menciptakan salah paham. Tidak semua orang memahami pesan di balik keheningan. Ada yang mengartikannya sebagai tanda tidak peduli, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk penghormatan pada privasi. Inilah yang membuat "silent message" menjadi pisau bermata dua. Jika tidak dipahami dengan baik, tindakan ini bisa merusak hubungan personal maupun profesional.

Mengapa kebiasaan ini semakin umum? Salah satunya karena media digital memberikan ruang untuk berpikir sebelum bertindak. Tidak seperti komunikasi tatap muka yang membutuhkan respons langsung, chat memungkinkan kita untuk memilih kapan dan apakah akan merespons. Ini memberi kekuasaan pada individu, tetapi juga menciptakan jurang emosional antara pengirim dan penerima.

Lalu, bagaimana menyikapi fenomena ini? Sebagai penerima, penting untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan negatif ketika pesan Anda tidak segera dibalas. Sebaliknya, sebagai pengirim "silent message," pastikan niat Anda jelas dan, jika perlu, beri penjelasan agar tidak menciptakan kesalahpahaman. Komunikasi adalah tentang saling mengerti, bahkan ketika pesan itu berupa keheningan.

Silent message adalah produk dari dunia digital yang serba cepat dan kompleks. Suka atau tidak, diam sering kali berbicara lebih keras daripada kata-kata. Maka dari itu, memahami konteks dan menghargai batasan masing-masing adalah kunci untuk menjembatani makna di balik pesan yang tak terucap.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak