Job Hopping Gen Z: Strategi Jitu Naik Gaji atau Bumerang Karier?

M. Reza Sulaiman
Job Hopping Gen Z: Strategi Jitu Naik Gaji atau Bumerang Karier?
Ilustrasi job hopping gen z. (pexels/fauxels)

Kalau orang tua kita bisa kerja betah di satu perusahaan yang sama sampai puluhan tahun, generasi anak muda sekarang punya cara main yang berbeda.

Gen Z tidak lagi melihat loyalitas sebagai harga mati. Mereka punya definisi sukses dan karier yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Sering dengar omongan, "anak sekarang nggak loyal" atau "baru sebentar udah keluar"? Bagi Gen Z, pindah-pindah tempat kerja atau job hopping justru jadi strategi untuk mendapatkan banyak pengalaman dan membuat karier makin ngebut.

Job Hopping: Bukan Gak Betah, Tapi Strategi Naik Level

Job hopping adalah istilah untuk kebiasaan berpindah kerja dalam waktu yang singkat, biasanya kurang dari dua tahun.

Kalau dulu orang bisa sabar untuk naik pangkat step-by-step, Gen Z mikirnya, “ngapain lama-lama kalau ada jalan yang lebih cepat?”

Niat untuk melakukan job hopping di kalangan Gen Z itu tinggi banget. Mereka punya ekspektasi yang besar terhadap pekerjaan, mulai dari gaji hingga budaya kerja. Begitu ekspektasi itu tidak terpenuhi, pindah kerja menjadi opsi yang sangat rasional.

Terus, Kenapa Sih Gen Z Gampang Banget 'Cabut'?

Sebenarnya, ada beberapa alasan utama yang membuat Gen Z jadi gampang pindah-pindah kerja. Berdasarkan hasil penelitian Nurul Aulia, Ilzar Daud, dan Dody Pratama Marumpe dari Universitas Tanjungpura, yang terbit di Journal of Management Science (JMAS):

Gaji dan Kompensasi: Realistis, Bukan Matre

Uang memang bukan segalanya, tapi gaji menjadi salah satu faktor paling dominan. Banyak dari Gen Z yang merasa bahwa pindah kerja adalah cara paling cepat untuk meningkatkan income, ketimbang harus menunggu kenaikan gaji tahunan atau promosi yang seringkali lambat.

Karier Harus Progresif: Anti 'Stuck' di Situ-situ Aja

Kesempatan untuk pengembangan karier juga jadi hal yang krusial. Generasi Z ingin melihat jalur yang jelas untuk bisa naik level, mulai dari training, mentoring, hingga promosi.

Kalau perusahaan tidak bisa menawarkannya, mereka tidak akan ragu untuk mencari di tempat lain.

Work-life Balance Itu Wajib, Bukan Bonus

Generasi yang satu ini sangat peduli dengan keseimbangan hidup dan kesehatan mentalnya. Mereka menolak hustle culture yang toksik.

Lingkungan kerja yang membuat burnout bisa jadi alasan yang sangat kuat untuk segera resign, seberapa pun besar gajinya.

Budaya Kerja yang 'Vibes'-nya Cocok

Budaya organisasi juga punya pengaruh yang besar. Penelitian ini menekankan bahwa budaya kerja yang positif dan suportif dapat menurunkan niat job hopping.

Sebaliknya, budaya yang toxic, penuh drama, atau tidak menghargai karyawan justru jadi pemicu terkuat untuk segera mencari lingkungan baru.

Plus Minus Jadi 'Kutu Loncat': Keren Sih, Tapi Ada Risikonya

Job hopping memang bisa menjadi pilihan yang tepat buat mereka yang mau punya skill yang beragam karena sering beradaptasi di lingkungan baru, network yang luas, dan karier yang lebih cepat.

Tapi, penting untuk diketahui kalau cara ini juga punya risikonya sendiri. Bisa jadi, HRD perusahaan akan berpikir dua kali untuk menerima karyawan dengan cap "kutu loncat" di CV-nya.

Kamu juga harus siap untuk beradaptasi berulang kali, yang bisa membuat mentalmu capek. Dan yang paling perlu dipertimbangkan, job hopping kadang bisa bikin kamu terlihat tidak konsisten atau tidak punya pendirian.

Jadi, kuncinya ada di keseimbangan. Pindah kerja itu boleh banget, yang penting kamu tahu value apa yang mau kamu cari. Kalau cuma ikut-ikutan tren tanpa pertimbangan yang jelas, hasilnya bisa jadi kosong dan malah merugikan kariermu dalam jangka panjang.

Penulis: Flovian Aiko

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak