Dari Curhat Keluarga Sampai Isu Mental Health: Kenapa Gen Z Hobi 'Oversharing' di Medsos?

M. Reza Sulaiman
Dari Curhat Keluarga Sampai Isu Mental Health: Kenapa Gen Z Hobi 'Oversharing' di Medsos?
Oversharing (freepik/lookstudio)

Media sosial kini menjadi ruang publik utama bagi Generasi Z. Generasi yang tumbuh bersama TikTok, Instagram, X (Twitter), hingga Threads ini menggunakan platform tersebut untuk segalanya.

Namun, di balik budaya berbagi yang serba cepat, muncul sebuah fenomena yang disebut oversharing, yaitu kebiasaan membagikan terlalu banyak informasi pribadi secara terbuka. Fenomena ini semakin sering terlihat di kalangan Gen Z, baik berupa curhat masalah keluarga, isu kesehatan mental, hingga detail kehidupan sehari-hari yang paling intim.

Jadi, Apa Sebenarnya 'Oversharing' Itu?

Oversharing dapat diartikan sebagai perilaku mengumbar informasi pribadi secara berlebihan di media sosial. Penelitian dari National Library of Medicine menyebutkan bahwa kecemasan, kebutuhan akan perhatian, serta kecanduan media sosial menjadi faktor utama yang mendorong seseorang melakukan oversharing.

Pada konteks Gen Z, perilaku ini sering dianggap wajar karena media sosial sudah menjadi “buku harian publik” yang selalu terbuka.

Kenapa Sih Gen Z Rentan Banget Sama Oversharing?

Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuat Gen Z lebih rentan terhadap oversharing:

Budaya Autentisitas: Gen Z sangat menilai keterbukaan sebagai hal yang penting. Menurut The Guardian, Gen Z lebih memilih tampil apa adanya dibandingkan harus menjaga pencitraan yang palsu.

FOMO (Fear of Missing Out): Rasa takut ketinggalan tren membuat banyak anak muda terus-menerus membagikan kehidupannya agar tetap terlihat relevan dan eksis.

Validasi Sosial: Di era digital, like, komentar, dan share dianggap sebagai indikator harga diri. Banyak Gen Z yang melakukan oversharing di Instagram Stories demi mendapatkan validasi dan menjaga status sosial.

Kurangnya Kesadaran Privasi: Rupanya, banyak pengguna muda yang belum sepenuhnya memahami risiko jejak digital yang bisa bertahan selamanya dan diakses oleh siapa saja.

Pedang Bermata Dua: Manfaat vs. Bahaya Oversharing

Oversharing di media sosial tidak selalu berdampak buruk. Dalam beberapa kasus, keterbukaan justru bisa membawa hal positif. Misalnya, ketika seseorang membagikan pengalamannya tentang kesehatan mental, cerita semacam ini dapat memunculkan solidaritas dan membuat orang lain merasa lebih berani untuk mencari pertolongan.

Namun, di sisi lain, dampak negatifnya cenderung lebih besar dan berisiko.

Keamanan: Data pribadi yang diunggah secara berlebihan bisa dimanfaatkan untuk penipuan atau bahkan doxing.

Kesehatan Mental: Laporan Social Media and Youth Mental Health menunjukkan bahwa penggunaan media sosial lebih dari tiga jam per hari berkaitan dengan meningkatnya risiko depresi dan kecemasan pada remaja, apalagi jika dibarengi dengan oversharing yang memicu komentar negatif.

Risiko Jangka Panjang: Konten lama yang bersifat sensitif bisa muncul kembali di masa depan dan merusak reputasi, baik dalam kehidupan sosial maupun di dunia kerja.

Kuncinya: Pikir Dulu Sebelum Posting

Fenomena oversharing sebaiknya dipandang sebagai tantangan dalam literasi digital. Generasi Z perlu belajar untuk menyaring informasi apa yang pantas dibagikan, siapa audiensnya, dan apa tujuan dari unggahannya.

Media sosial bisa memberi manfaat besar dalam membangun komunitas, tetapi tanpa kesadaran akan batasan, risikonya juga sangat serius. Pada akhirnya, berbagi itu penting, namun tidak semua hal harus diumbar. Menyimpan sebagian cerita untuk diri sendiri justru bisa menjadi bentuk perlindungan diri yang paling sehat di era digital ini.

Penulis: Flovian Aiko

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak