Pagi hari di sebuah kafe, sekumpulan remaja duduk sambil menatap layar. Mereka tidak banyak bicara, hanya menggulir layar ponsel. Sesekali tertawa kecil melihat story teman yang sedang liburan ke Bali, lalu kembali hening.
Salah satu dari mereka bergumam, “Kapan ya gue bisa kayak gitu?” Kalimat sederhana yang mencerminkan penyakit zaman digital: FOMO (Fear of Missing Out).
FOMO bukan sekadar istilah gaul. Ia menggambarkan kecemasan yang muncul saat seseorang merasa tertinggal dari apa yang dilakukan orang lain di media sosial. Generasi Z, yang lahir di era serba daring, hidup dalam dunia di mana setiap momen bisa dibagikan dan dibandingkan. Dari outfit, tempat nongkrong, hingga pencapaian hidup, semuanya tampak seperti ajang perlombaan tanpa garis akhir.
Dalam penelitian psikologi di Indonesia, remaja berusia 16–24 tahun menunjukkan kecenderungan tinggi terhadap FOMO, terutama yang menghabiskan lebih dari empat jam sehari di media sosial. Mereka cenderung mengalami stres, mudah cemas, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah. Di balik unggahan senyum di Instagram, banyak yang sebenarnya merasa lelah menjaga citra diri agar tetap terlihat bahagia.
Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk mempererat hubungan, kini justru menjadi ladang perbandingan. Setiap unggahan teman menjadi tolok ukur baru: siapa yang lebih bahagia, lebih produktif, lebih menarik. Hasilnya, banyak anak muda mulai meragukan diri sendiri. Mereka mengukur nilai diri dari jumlah “like”, komentar, atau pengikut. Semakin sedikit respons yang didapat, semakin rendah rasa percaya diri mereka.
Penelitian internasional menunjukkan bahwa FOMO berhubungan erat dengan self-esteem atau harga diri. Semakin tinggi rasa takut tertinggal, semakin rendah kepercayaan diri seseorang. Hal ini memicu perilaku kompulsif mereka terus membuka media sosial untuk “mengejar” informasi, memastikan tidak ada momen yang terlewat. Ironisnya, semakin sering mereka online, semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Seperti roda yang berputar tanpa henti: scroll, cemas, repeat.
FOMO juga berdampak pada kesehatan fisik. Rasa cemas yang terus-menerus dapat mengganggu pola tidur dan konsentrasi. Banyak Generasi Z mengaku sulit tidur tanpa mengecek media sosial terlebih dahulu. Notifikasi kecil bisa memicu adrenalin, membuat otak sulit beristirahat. Akibatnya, mereka bangun dalam kondisi lelah, emosional, dan sulit fokus belajar atau bekerja.
Namun, FOMO tidak sepenuhnya buruk. Dalam dosis kecil, ia bisa menjadi pendorong sosial yang membuat seseorang ingin terhubung dan belajar hal baru. Masalah muncul ketika rasa ingin tahu berubah menjadi ketergantungan emosional terhadap validasi digital. Di titik ini, individu kehilangan kendali atas waktu dan keseimbangan mentalnya.
Lalu, bagaimana cara keluar dari lingkaran FOMO?
- Sadarilah bahwa media sosial bukan cerminan utuh kehidupan seseorang. Orang cenderung hanya menampilkan hal baik, bukan kesulitan di balik layar.
- Latih diri untuk beristirahat digital. Matikan notifikasi selama beberapa jam, terutama saat malam. Tubuh dan pikiran butuh waktu tanpa distraksi.
- Isi waktu luang dengan aktivitas yang nyata bertemu teman secara langsung, membaca buku, atau berolahraga. Saat kamu menikmati momen nyata, kebutuhan untuk terus “terhubung” perlahan akan berkurang.
Generasi Z adalah generasi paling terhubung dalam sejarah manusia, tapi juga generasi yang paling kesepian. Dunia digital yang menjanjikan koneksi justru menciptakan jarak emosional. FOMO bukan hanya tentang takut ketinggalan momen, tapi juga tentang kehilangan diri sendiri di tengah banjir informasi dan perbandingan sosial.
Kita tak harus meninggalkan media sosial sepenuhnya. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengendali, bukan yang dikendalikan. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan diukur dari jumlah story yang kita unggah, melainkan dari seberapa damai kita merasa saat ponsel dimatikan.
Di dunia yang terus terhubung, ketenangan sejati justru lahir dari keberanian untuk melepaskan. Kadang, berhenti sejenak adalah cara terbaik untuk menemukan diri.