Pernahkah kamu merasa bahagia tanpa tahu alasannya? Mungkin saat menatap langit sore, mendengarkan lagu favorit, atau tertawa lepas bersama teman. Momen-momen kecil seperti itu sering kali menjadi cermin dari sesuatu yang lebih dalam: kebahagiaan sejati.
Namun, apa sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah sekadar rasa senang sesaat, atau sesuatu yang lebih kompleks dan abadi?
Pertanyaan ini telah menggoda para filsuf, ilmuwan, dan psikolog selama berabad-abad. Yuk, kita simak penjelasannya!
Dari Zaman Aristoteles Sampai Ajaran Buddha
Dalam sejarah, kebahagiaan selalu menjadi tema besar dalam filsafat. Filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, menyebut kebahagiaan sebagai eudaimonia, yaitu hidup yang dijalani dengan kebajikan dan tujuan.
Sementara itu, di Timur, kebahagiaan sering dianggap sebagai keseimbangan antara batin dan lingkungan, seperti dalam ajaran Buddha yang menekankan pentingnya ketenangan pikiran dan kesadaran diri.
Sains di Balik Rasa 'Happy': Hormon dan Kebiasaan
Psikologi modern memandang kebahagiaan melalui dua lensa utama: hedonik (kesenangan jangka pendek) dan eudaimonik (makna dan pencapaian diri). Di dalam tubuh, kebahagiaan juga dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin.
Otak kita bahkan memiliki kemampuan untuk "belajar" menjadi lebih bahagia lewat kebiasaan-kebiasaan sederhana, seperti meditasi dan refleksi harian.
'Circle' yang Sehat Adalah Sumber Bahagia Terbesar
Penelitian menemukan bahwa sumber kebahagiaan terbesar datang dari hubungan yang bermakna. Orang dengan jaringan sosial yang kuat, seperti keluarga, sahabat, pasangan, atau komunitas, biasanya lebih sehat dan hidup lebih lama.
Hubungan yang tulus memberikan kita rasa diterima, dimengerti, dan dibutuhkan. Ini bukan tentang jumlah teman, tapi tentang kedalaman koneksi.
Beda Negara, Beda Cara Pandang Bahagia
Kebahagiaan juga sangat dipengaruhi oleh budaya. Di negara-negara Barat, bahagia sering dikaitkan dengan kebebasan individu dan pencapaian pribadi.
Sementara itu, di Timur, seperti di Jepang dengan konsep ikigai, kebahagiaan lebih tentang menemukan makna hidup melalui keseimbangan antara minat, bakat, dan kontribusi terhadap dunia. Di Denmark, ada konsep hygge, yaitu perasaan hangat dan nyaman yang lahir dari kebersamaan.
Ironisnya, Bahagia Butuh Sedih
Untuk bisa benar-benar bahagia, kita juga perlu mengenal kesedihan. Psikologi modern menyebut bahwa menolak emosi negatif justru bisa menumpuk stres dan membuat rasa bahagia jadi terasa palsu.
Dengan menerima kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan sebagai bagian dari hidup, kita akan menjadi lebih tangguh dan lebih siap untuk bisa merasakan kebahagiaan yang tulus.
Langkah Awal Menuju Hidup yang Lebih Bahagia
Menemukan kebahagiaan tidak memerlukan perubahan yang besar, justru bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana. Berlatih bersyukur, menjaga tubuh tetap sehat, membantu orang lain, atau sekadar menikmati waktu tanpa distraksi digital bisa memperkuat rasa bahagia setiap hari.
Kebahagiaan sendiri menyimpan banyak sekali rahasia di baliknya yang seringkali tidak kita sadari. Jadi, menurutmu, bahagia itu apa sih?
(Flovian Aiko)