Kenapa Makanan Indonesia Kaya Rempah? Jawabannya Ada di Geografi

M. Reza Sulaiman
Kenapa Makanan Indonesia Kaya Rempah? Jawabannya Ada di Geografi
Ilustrasi makanan tradisional. (Freepik/freepik)

Mengapa orang Indonesia menyukai makanan kaya rempah, sementara masyarakat Jepang lebih memilih rasa yang bersih dan ringan? Atau mengapa makanan khas dataran tinggi begitu berbeda dari yang berasal dari pesisir? Jawabannya terletak pada satu faktor besar yang sering tidak disadari, yaitu geografi.

Mulai dari iklim, ketinggian, hingga sumber daya alam secara perlahan membentuk preferensi rasa yang kita kenal hari ini.

Iklim dan Ketersediaan Bahan Mengatur Rasa Lokal

Setiap daerah memiliki kondisi alam yang unik, dan ini menentukan bahan apa saja yang bisa tumbuh dan diolah oleh masyarakatnya. Di wilayah pegunungan, misalnya, suhu dingin dan medan sulit membuat tanaman tertentu tidak bisa tumbuh optimal.

Akibatnya, masyarakat di dataran tinggi lebih mengandalkan sumber pangan seperti daging, gandum keras, barley, atau produk susu fermentasi. Contohnya, masyarakat Tibet mengonsumsi barley, sup kental, dan teh mentega sebagai makanan padat energi untuk menghadapi udara tipis dan dingin.

Sebaliknya, daerah pesisir memiliki warisan kuliner yang sangat berbeda. Melimpahnya hasil laut membuat masyarakat lebih akrab dengan ikan, kerang, rumput laut, dan teknik memasak sederhana seperti membakar atau mengukus untuk mempertahankan kesegaran bahan. Inilah mengapa kuliner Jepang atau Mediterania cenderung ringan, bersih, dan fokus pada rasa alami.

Di wilayah tropis seperti Asia Tenggara, kondisi panas dan lembap sejak dulu menuntut masyarakat untuk menggunakan rempah, cuka, dan fermentasi sebagai pengawet alami. Akibatnya, rasa yang kuat, pedas, dan aromatik menjadi identitas kuliner regional, termasuk Indonesia.

Peran Genetika dalam Preferensi Rasa

Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas seseorang terhadap rasa pahit, manis, dan pedas juga dipengaruhi oleh genetika. Populasi yang berbeda memiliki tingkat sensitivitas rasa yang bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian budaya begitu menikmati rasa pahit atau pedas ekstrem, sementara budaya lain cenderung menghindarinya.

Selain itu, anak-anak sebenarnya mulai mengenal rasa lokal sejak berada dalam kandungan. Aroma dan rasa dari makanan yang dikonsumsi ibu dapat memengaruhi selera bayi saat tumbuh. Ketika mereka mulai makan makanan padat, lidah mereka sudah cenderung akrab dengan cita rasa yang tumbuh dalam budaya tempat mereka dibesarkan.

Budaya, Tradisi, dan Identitas Rasa

Geografi memang menentukan bahan dasar, tetapi budaya menentukan bagaimana bahan tersebut diolah. Resep tradisional berkembang karena adaptasi terhadap alam, teknik pengawetan yang tersedia, serta kebiasaan sosial. Fermentasi di daerah dingin, penggunaan cabai di daerah tropis, atau makanan berkuah di daerah basah dan sejuk adalah contoh bagaimana masyarakat menyesuaikan makanan dengan lingkungan.

Seiring waktu, resep-resep tersebut diwariskan, menjadi identitas, dan menciptakan apa yang kita sebut sebagai "rasa rumahan". Meski globalisasi membuat kita bisa mencoba makanan dari mana saja, rasa lokal tetap memiliki tempat khusus di hati banyak orang.

Kini, banyak kuliner dunia diadaptasi agar sesuai dengan selera lokal di negara lain. Tingkat pedas diturunkan, rempah dikurangi, atau rasa diperhalus. Meski hal ini membuat makanan lebih mudah diterima secara global, identitas asli sering memudar.

Di Indonesia sendiri, keragaman geografis membuat kuliner kita luar biasa kaya. Memahami bagaimana geografi membentuk rasa membantu kita lebih menghargai keunikan setiap daerah. Pada akhirnya, makanan bukan hanya soal rasa. Ia adalah potret lingkungan, sejarah, dan budaya yang melekat pada setiap suapan.

(Flovian Aiko)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak