Tren Zero Post Gen Z: Memilih Diam, Tapi Tetap Bersuara di Dunia Digital

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Tren Zero Post Gen Z: Memilih Diam, Tapi Tetap Bersuara di Dunia Digital
Ilustrasi tren zero post di media sosial. (Pexels/Andrea Piacquadio)

Di tengah ramainya konten yang berseliweran setiap detik di media sosial, muncul sebuah fenomena menarik yang justru bertolak belakang, yaitu tren zero post. Fenomena ini banyak dilakukan oleh Gen Z, generasi yang dikenal paling aktif dan kreatif di dunia digital.

Ironisnya, mereka justru memilih tidak memposting apa pun. Akun terlihat kosong, feed bersih, tapi mereka tetap aktif mengamati, menonton, dan berkomunikasi lewat platform yang sama.

Fenomena “diam tapi tetap bersuara” ini menunjukkan perubahan besar dalam cara Gen Z memandang media sosial. Lalu, apa makna tren zero post, alasan di baliknya, serta dampaknya bagi budaya digital yang terus berkembang?

Mengenal Tren Zero Post Ala Gen Z

Zero post adalah gaya bermedia sosial yang belakangan dianut Gen Z di mana penggunanya memilih untuk tidak memiliki postingan apa pun di feed publik dengan alasan ingin memprioritaskan privasi dan kendali diri.

Biasanya, beberapa pengguna medsos bahkan mulai menghapus konten lama agar profil terlihat “bersih” dan lebih memilih interaksi melalui pesan langsung (DM), story, atau close friends.

Meski begitu, mengikuti tren ini bukan berarti mereka tidak hadir di media sosial. Justru sebaliknya, mereka tetap aktif, hanya saja dalam bentuk yang lebih privat.

Alasan Gen Z Memilih Zero Post Jadi Tren

Bukan sekadar menciptakan atau mengikuti tren, ada beberapa alasan Gen Z memilih zero post, antara lain sebagai berikut.

1. Ingin Mengurangi Tekanan Untuk Tampil Sempurna

Gen Z tumbuh di era ketika standar estetika media sosial sangat tinggi. Feed harus rapi, foto harus estetik, dan caption harus keren. Tekanan ini membuat banyak anak muda merasa cemas dan enggan posting konten apa pun.

Mereka takut dinilai, dibandingkan, dan khawatir terlihat tidak sempurna karena terjebak “kompetisi perhatian” di medsos. Dengan zero post inilah, mereka bebas dari standar tersebut.

2. Privasi dan Kendali

Di era serba digital, Gen Z lebih sadar soal keamanan data dan jejak digital. Mereka tidak ingin kehidupan pribadinya mudah dilacak atau diambil orang lain. Zero post menjadi cara menjaga identitas tetap aman sebab privasi bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.

3. Kejenuhan Terhadap Budaya Oversharing

Selama bertahun-tahun, media sosial dipenuhi budaya pamer dan oversharing. Semua orang membagikan apa pun, mulai dari makanan, outfit, kegiatan harian, hingga curhat pribadi.

Gen Z mulai lelah dan mencari ruang yang lebih tenang dari hiruk pikuk konten berlebihan dan zero post muncul sebagai reaksi terhadap kebisingan digital.

4. Lebih Suka Interaksi Personal

Gen Z lebih memilih komunikasi yang bersifat personal, seperti kirim meme via DM, ngobrol di grup chat, atau sekadar unggah story hanya untuk close friends demi mendapatkan koneksi nyata dan bukan sorotan publik.

5. Estetika Minimalis yang Sedang Tren

Profil kosong, bersih, dan misterius dianggap lebih “keren” karena mengusung estetika minimalis. Pada akhirnya, zero post bukan hanya pilihan gaya hidup, tapi juga pilihan estetika dengan konsep digital minimalism yang sedang diminati Gen Z.

Zero Post Juga Bisa “Tetap Bersuara”

Meski tidak memposting apa pun, Gen Z yang memilih mengikuti tren zero post tetap aktif bersuara melalui cara lain yang dianggap lebih nyaman. Fitur story yang tanpa meninggalkan jejak permanen dianggap sebagai ruang berbagi yang relevan.

Selain itu, suara Gen Z juga “terdengar” lewat kolom komentar dan repost saat mengikuti diskusi tertentu maupun menyebarkan informasi digital. Lewat cara ini, aktivitas digital mereka tetap terlihat meski bukan lewat feed utama.

Aktivitas digital Gen Z juga dilakukan melalui partisipasi konsumsi konten seperti menonton, membaca, dan mengamati yang akan mempengaruhi algoritma, tren, serta budaya digital tanpa publikasi konten pribadi.

Bersuara lewat zero post jadi branding Gen Z membentuk identitas online yang lebih personal berdasarkan preferensi, komentar, playlist, following list, maupun interaksi tertutup.

Dampak Zero Post terhadap Media Sosial

Jika dari sudut pandang Gen Z lebih menguntungkan, berbeda dengan dampak zero post terhadap media sosial yang berubah dari ruang personal menjadi ruang konsumsi.

Pengguna medsos yang mulai mengurangi jejak digital membuat konten pribadi menurun tapi semakin ramai dengan dominasi timeline dari kreator dan influencer yang dinikmati “orang biasa”.

Imbasnya, ada pergeseran interaksi ruang privat melalui DM, close friends, hingga grup chat sebagai tempat utama berkomunikasi yang lebih intim dan selektif.

Dampak ini membuat platform media sosial mendapat tantangan baru. Algoritma dan iklan yang lebih sulit bekerja akibat pengguna jarang posting menuntut platform terus beradaptasi agar bisa tetap relevan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak