Butuh Perhatian, Ini Kendala Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia

Tri Apriyani | Septiani Dyta Utari
Butuh Perhatian, Ini Kendala Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia
Seorang perempuan alami depresi. [shutterstock]

Kabar kehilangan mendalam atas dua penyanyi muda Korea Selatan telah membuka mata publik. Ini menyoal fakta atas tingginya angka kematian atas bunuh diri di negara tersebut. Di Indonesia sendiri, belum lama ini kita dikejutkan oleh berita public figure dunia hiburan yang melakukan percobaan bunuh diri dalam siaran langsung di instagram.

Kesalahan langkah dalam mengonfirmasi berita dari pihak terkait membuat netizen berang. Berita sejenis dan treatment publik usai memperoleh informasi nampaknya menjadi makanan hingga akhir tahun ini. Namun atas beberapa faktor, jenis berita di atas hanya menjadi hiasan, seakan tak penting untuk diberi perhatian lebih. Padahal kasus bunuh diri bisa terjadi pada siapa saja termasuk orang -orang terdekat kita.

Kasus kematian akibat bunuh diri bisa terjadi pada siapa saja, di level apa saja, kapan dan dimana saja. Besarnya pengaruh kesehatan mental terhadap keputusan hidup seseorang menerbitkan hasil yang berbanding terbalik, bahwa isu kesehatan mental yang bermuara pada tindakan menyakiti diri sendiri sewaktu-waktu bisa membawa masyarakat pada hasil terburuk.

Berdasarkan data yang dilansir dari perusahaan survei YouGov dari opini publik, 27 persen masyarakat Indonesia memiliki pengalaman melakukan percobaan bunuh diri. Ini juga mengungkapkan bahwa 36 persen masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan tertentu pada keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Kebanyakan perilaku didukung oleh isu kesehatan mental seperti depresi dan rasa cemas berlebihan.

Memahami tingginya kebutuhan ini, maka diperlukan perhatian yang serius. Indonesia harus mulai berbenah untuk menekan angka kejadian. Sayangnya isu ini masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Kenyataan di lapangan dan stigma yang berkaitan dengan isu ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tugas rumah yang sesungguhnya bisa diselesaikan bersama-sama. 

1. Masih dianggap aib

Isu kesehatan mental kadang memperoleh tanggapan yang tak menyenangkan. Masyarakat umum memiliki anggapan bahwa seseorang yang memiliki masalah depresi atau rasa cemas berlebihan berakar dari keturunan yang buruk, karma, atau kurangnya ibadah. Padahal semua kembali pada pengalaman individu yang variatif, seperti kekecewaan yang besar, trauma atas kejadian buruk, dan aktivitas di otak.

Pendekatan yang cenderung judgemental justru membuat mereka mengisolasi diri sendiri. Hal ini membuat mereka malu atas keadaannya. Ini yang perlu kita benahi bersama. Bukan terlalu banyak bicara, yang dibutuhkan mereka adalah kehadiran yang sungguh-sungguh, ikatan yang jujur, perhatian yang diberi dengan lebih banyak menyodorkan telinga.

2. Stigma bahwa 'tenaga profesional hanya untuk orang gila'

Penderita gangguan kesehatan mental butuh perhatian khusus, perlakuan yang diutamakan, pendampingan dari tenaga profesional. Sayangnya langkah mereka terkendala oleh gagasan kolektif seperti, bahwa datang ke dokter jiwa, psikiater, atau psikolog hanya dilakukan untuk mereka yang gila.

Masyarakat umum cenderung mengaitkan isu kesehatan mental sebagai sesuatu yang cacat. Padahal tidak seperti itu. Beberapa penderita gangguan kesehatan mental justru bisa melakukan kegiatan normal seperti orang kebanyakan. 

3. Kurangnya tenaga profesional 

Dilansir tirto.com, berdasarkan informasi dari Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia, jumlah psikolog klinis atau tenaga profesional yang berkecimpung langsung ke kesehatan dan Rumah Sakit hanya sebesar 1.143 orang per 5 Mei 2019. Jumlah Rumah Sakit Jiwa di Indonesia hanya sebesar 48 saja, dengan separuh jumlahnya berada di empat provinsi dan sisanya menyebar, dengan catatan 8 provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa.

Di seluruh Indonesia, hanya tersedia 600-800 psikiater (1 psikiater melayani 300.000-400.000 pasien). Jumlah tenaga profesional yang kecil ini diperkirakan atas minat atau peruntungan di bidang itu sendiri. Sementara dari data Kementerian Kesehatan (Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS 2018), persebaran tenaga profesional masih terpusat di kota besar, terutama pulau Jawa. Ini menandakan bahwa akses bantuan masih terbatas dan tidak merata. Padahal isu kesehatan mental bisa terjadi dimana saja termasuk wilayah terpencil sekalipun. 

4. Biaya yang mahal

Dengan jumlah terbatas, persebaran yang tak merata, biaya obat-obatan atau ketimpangan yang disumbangkan dari faktor lain di luar itu, minat dan permintaan pasien untuk memperoleh penanganan pun kecil. Biaya persesi konsultasi bisa mencapai ratusan ribu dengan hitungan waktu tertentu.

Bisa jadi persepsi yang muncul di kemudian hari akan negatif, seperti bahwa melakukan konsultasi profesional hanya sia-sia saja. Pasien tak mengajukan perawatan karena profesi dianggap sepele atau adanya anggapan "membuang uang" karena memperoleh pendamping profesional sifatnya masih cocok-cocokkan pula. 

5. Kurangnya edukasi

Indonesia belum serius mengimplementasikan informasi terkait kesehatan mental dalam beberapa sektor. Padahal semua pihak harus membangun awareness karena kepedulian sekecil apapun dapat menyelamatkan hidup seseorang. Dengan berwawasan, kita bisa membagikan informasi pada yang lain tentang penggunaan media sosial yang bijak.

Tidak hanya dalam lingkaran kecil saja, pemerintah juga dapat ikut campur dalam hal pendidikan untuk masyarakat. Penyampaian informasi menyoal kesehatan mental, bagaimana mencapai tenaga profesional terkait, penanganan saat seseorang menyampaikan ide bunuh dirinya, hingga bertahap memberi pemahaman tentang perilaku yang harus ditunjukkan saat berhadapan dengan penderita, tidak hanya disampaikan dalam level universitas saja namun juga dibawah itu.

Informasi juga bisa disampaikan dalam penyuluhan untuk masyarakat umum. Tak lain untuk membangun lingkungan positif serta mengikis stigma negatif selama ini.

6. Kebijakan penyiaran berita oleh pekerja media

Pemberitaan kesehatan mental hingga bunuh diri di Indonesia masih belum sepenuhnya memperhatikan kode etik. Beberapa masih mengedepankan unsur sensasional, kurangnya pertimbangan atas perasaan keluarga penderita, dan yang terburuk dari semua itu, adalah masih menjelaskan kejadian dengan detail. Apalagi bila pelaku merupakan seorang penting, maka glorifikasi tiada henti menjamur.

Padahal efek dari pemberitaan bunuh diri yang sengaja diangkat paling depan justru dapat berpengaruh pada penggemar atau masyarakat yang mengagumi tokoh tersebut. Copycat Suicide atau imitasi bunuh diri bisa saja terjadi pada orang lain. Oleh karena itu, ada baiknya memperhatikan panduan yang diterbitkan oleh dewan pers atau organisasi kesehatan dunia (WHO) dalam memberikan berita terkait kejadian bunuh diri.

Depresi, gangguan kecemasan, hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental bukan hal tabu untuk ditangani, melainkan bagian dari diri manusia yang butuh rasa peduli. Bila kamu memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri, jangan sungkan untuk menjangkau teman terdekat atau bantuan profesional. Kamu tidak sendirian. Bila kamu mengenal sahabat atau keluarga yang memiliki masalah dengan kesehatan mental maka ingatlah untuk menyisihkan egomu.

Berikan waktu untuk membantunya dengan tulus. Bila tak mampu, setidaknya jangan memberi penilaian yang tidak diperlukan dan memperburuk keadaan. Bila kamu menghadapi kejadian yang tak diinginkan terjadi pada seseorang, segera hubungi pihak kepolisian setempat, tenaga medis, atau bantuan lain seperti 119. Pahami betul posisimu agar bisa lebih tanggap memberikan sikap. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak