RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Peningkatan Perekonomian telah diajukan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas pada sidang umum DPR 2020. Biasa disebut omnibus law perpajakan, RUU ini dapat dibayangkan seperti sebuah “bus” yang mengakomodasi “omni” (segala) ketentuan perpajakan dalam suatu paket peraturan. Dalam omnibus law ini terdapat gebrakan yang sangat menarik perhatian saya, yaitu penurunan besaran tarif pajak korporasi yang signifikan.
Bicara soal pajak, di samping potensinya yang besar, selama ini Indonesia bisa dibilang cukup ketat. Indonesia dapat digolongkan sebagai negara dengan tarif pajak yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN. Tarif pajak korporasi di Indonesia sebesar 25 persen, tertinggi kedua setelah Filipina, sementara yang terendah yaitu Singapura yaitu sebesar 17 persen, menjadikannya negara tax haven di ASEAN.
Umumnya orang berpikir, semakin tinggi tarif pajak maka pendapatan pajak semakin besar. Secara teori memang begitu. Jika pemerintah menginginkan pendapatan yang cukup besar dari sisi perpajakan, cukup menetapkan tarif pajak yang tinggi. Namun, apakah hal ini menjamin kepatuhan subjek pajak?
Bagi perusahaan multinasional dan OTT, secara general tarif pajak dan tax compliance justru memiliki korelasi negatif. Penyebabnya, baik perusahaan multinasional maupun OTT memiliki kemampuan dan kesempatan lebih dalam membuat skema penghindaran pajak, baik secara “halus” misalnya melalui transfer pricing atau dengan memanfaatkan loophole peraturan suatu negara, maupun secara “nekat” melalui tax evasion.
Untuk mendefinisikan tindakan penghindaran pajak, OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) menggunakan istilah BEPS (Basic Erosion and Profit Shifting), yaitu strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam aturan pajak antar negara untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven country) di mana ada sedikit atau tidak ada kegiatan ekonomi, atau untuk mengikis basis pajak melalui pembayaran yang dapat dikurangkan seperti bunga atau royalti.
Sebagian besar perusahaan multinasional memanfaatkan gap peraturan perpajakan antar negara ini sebagai strategi untuk mendapatkan pengenaan tarif pajak serendah-rendahnya. Perusahaan multinasional melakukan transaksi istimewa atau artifisial dengan mitra atau anak perusahaannya di negara lain yang merupakan surga pajak. Beberapa perusahaan multinasional sengaja membuat anak perusahaan boneka yang biasa disebut special purpose vehicle company hanya untuk manipulasi keuangan. Membuat anak perusahaan memang sah-sah saja, asal syarat sebagai badan hukum terpenuhi.
Salah satu contoh skema penghindaran pajak terkenal yang pernah dilakukan oleh perusahaan raksasa seperti Facebook, Google dan Apple yaitu Double Irish Dutch Sandwich. Dalam skema ini, perusahaan holding berafiliasi dengan dua perusahaan offshore di negara surga pajak yaitu Irlandia yang memiliki tarif pajak hanya 12,5 persen. Perusahaan holding mengalihkan keuntungannya ke offshore Irlandia, kemudian ke Belanda, lalu kembali lagi ke Irlandia, sehingga tarif pajak yang dikenakan hampir 0.
Melalui skema pemanfaatan gap perpajakan antar negara ini, Apple maupun Google hanya kena tarif pajak sebesar 2 persen. Namun kabarnya skema ini tidak akan digunakan lagi pada 2020. Upaya penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional pun tak tanggung-tanggung. Penelitian OECD memperkirakan bahwa biaya penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional (MNEs) berkisar antara 100 dolar Amerika hingga 240 miliar dolar Amerika pada 2015, yang setara dengan 4 hingga 10 persen dari pendapatan pajak penghasilan korporasi global.
Skema penghindaran pajak atau BEPS tersebut sangat sulit ditangani. Pasalnya, kegiatan mendirikan anak perusahaan maupun berafiliasi itu legal, sama halnya dengan bertransaksi dengan enterprise manapun secara lintas negara merupakan hal yang sah-sah saja. Di samping itu, setiap negara memiliki hak untuk menentukan kebijakan dan peraturan perpajakannya masing-masing.
Didukung dengan digitalisasi, pertukaran informasi rahasia antar entitas di berbagai belahan dunia sangat mungkin dilakukan. Dengan demikian, pada era ini setiap perusahaan maupun setiap negara merupakan entitas independen yang berhak menentukan kebijakannya sendiri, dilindungi oleh hukum internasional. Suatu negara maupun organisasi internasional tidak dapat mencegah suatu enterprise untuk bertransaksi atau mencegah suatu negara untuk menetapkan tarif pajaknya, selama itu dilegalkan oleh hukum internasional.
Banyak negara menyadari bahwa dalam menghadapi BEPS perlu kerja sama agar tercipta keselarasan. Tax Treaty tidaklah cukup dan hanya akan memberikan kepastian hukum, sehingga negara-negara memerlukan konvensi untuk menciptakan tools.
Forum GPFI pada Juni 2019 lalu telah menghasilkan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS, dengan lebih dari 135 negara dan yurisdiksi berkolaborasi dalam penerapan 15 langkah aksi untuk mengatasi penghindaran pajak, meningkatkan koherensi peraturan pajak internasional dan memastikan lingkungan pajak yang lebih transparan. Sebagai bentuk implementasi atas 15 langkah aksi dimaksud di Indonesia, disusunlah omnibus law perpajakan.
RUU Omnibus law perpajakan menawarkan solusi preventif dalam menghadapi BEPS. Solusi preventif dalam menghadapi BEPS atau penghindaran pajak yaitu dengan menurunkan tarif pajak itu sendiri.
Salah satu ketentuan penting dalam RUU omnibus law perpajakan yaitu Tarif PPh Badan akan turun secara bertahap dari 25 persen ke 20 persen dimulai pada 2021. Kemudian, akan ada penambahan penurunan tarif PPh Badan sebesar 3 persen bagi perusahaan yang akan mencatatkan saham perdana/IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga tarifnya menjadi 17 persen berlaku selama 5 tahun sejak perusahaan yang bersangkutan go public.
Dengan kata lain, perusahaan go public akan dikenakan tarif pajak yang sama dengan Singapura. Selain itu, pemerintah akan mengurangi beberapa basis perpajakan secara besar-besaran melalui RUU tersebut, antara lain penghapusan pajak dividen, penurunan tarif pajak atas bunga yang diterima WPLN, dan perubahan rezim perpajakan dari world wide menjadi teritorial.
Jadi, menurut Anda apakah Indonesia akan menjadi negara tax haven?
Menerapkan omnibus law perpajakan seperti bermain pertaruhan. Kemungkinan pertama adalah bahwa pendapatan perpajakan indonesia akan turun, terutama pada masa-masa awal penerapannya disebabkan menurunnya tarif pajak dan hilangnya potensi pajak dari sejumlah sektor.
Sementara, kemungkinan kedua adalah pendapatan perpajakan Indonesia justru meningkat yang disebabkan oleh meningkatnya penerimaan perpajakan dari perusahaan-perusahaan multinasional yang tadinya tidak membayar pajak.
Cost-benefit Analysis
Dalam hal ini, penurunan pendapatan negara adalah risiko maksimal sekaligus cost yang harus dihadapi indonesia dengan menerbitkan omnibus law. Sementara, tax compliance adalah benefit minimal yang akan diterima Indonesia. Namun, probabilitas yang lebih tinggi dari sekedar benefit minimal yaitu bahwa skema BEPS di Indonesia akan jauh berkurang dan pendapatan Indonesia akan mengalami akselarasi yang signifikan.
Menurut pandangan saya, pemerintah telah menerapkan great strategy. Tetapi, yang tak kalah penting adalah great execution. Diharapkan, dengan omnibus law perpajakan nantinya pendapatan negara atas pajak dapat meningkat, investasi akan meningkat dan ekonomi tumbuh seperti yang diharapkan.
Namun demikian, untuk meningkatkan invenstasi dan menggerakkan ekonomi tak cukup hanya dengan omnibus law. Pemerintah harus menjaga kestabilan ekonomi, keamanan dan mendorong simplisitas peraturan.