Tawanya yang terdengar menyambut kami saat menjemputnya ke kediamannya memenuhi ruangan. Sapa dan senyum ia tebarkan dengan hangat. “Sudah siap berangkat?” tanya kami, dan ia balas dengan kata siap yang sangat girang tak terbendung.
Fauzan namanya. Ia adalah seorang teman difabel yang siap kami wawancara dan mengambil peran sebagai pahlawan untuk teman difabel lainnya. Terlahir sebagai kembar dan dengan normal, hidup Fauzan berubah 180 derajat tidak lama setelah ia mendapat suntikan yang dianjurkan oleh seorang dokter pada saat ia masih balita.
Keluarga tidak pernah tahu apa isi suntikan yang mengubah Fauzan dan mengambil nyawa saudara kembarnya itu. Tidak ada tindakan legal yang bisa mengembalikan nyawa kembaran Fauzan. Fauzan sempat kehilangan kesadaran dan oksigen yang ia butuhkan terputus, mengakibatkan kecacatan di bagian badannya hingga sekarang.
Fauzan adalah salah satu teman difabel yang beruntung. Ia bercerita bahwa seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa dikucilkan dan selalu disayang oleh orang sekitarnya. Fauzan dididik oleh kedua kakaknya yang mengambil peran sebagai guru dan ibu setelah ibu Fauzan meninggal saat Fauzan masih kecil.
Lulu, kakak Fauzan, yang paling tua bercerita bahwa walau Fauzan tidak merasa dikucilkan, menurut Lulu, ia pernah merasakan pilu mendalam saat tetangganya berkata “lihat, tuh, si cacat keluar rumah,’ ketika Fauzan sedang bermain di luar.
Teman difabel di Indonesia masih juga harus merasakan pahit yang sama. Masyarakat Indonesia seakan-akan mudah membiarkan stigma terhadap teman difabel mengeruhkan pandangannya terhadap sesama manusia. Mereka dengan mudahnya membunuh karakter teman difabel dengan mengecilkan hati mereka.
Sikap-sikap kita selama ini menyatakan dan menekankan bahwa masyarakat yang bertubuh normal sebagai individu yang lebih superior, seakan-akan potensi seseorang hanya bisa dilihat dari utuh atau tidaknya bagian tubuh, dan bukan dari kesempurnaan karakter dan value yang mereka miliki.
Ableism adalah istilah untuk fenomena sosial yang menggambarkan sikap diskriminatif dan kekeliruan cara pandang serta prasangka seseorang terhadap seorang penyandang disabilitas. Sikap Ableism juga menitikberatkan perlakuan tidak setara terhadap individu hanya karna disabilitas yang disandangnya.
Seorang Ableist, orang yang mempraktikan sikap ableism, mengkarakterkan seorang penyandang disabilitas sebagai individu yang lebih rendah dibandingkan yang bukan penyandang disabilitas.
Terdengar dan tersiratkan sebagai suatu perbuatan keji yang hanya dapat ditemukan di buku-buku dan dongeng, di mana ada si jahat dan si korban. “Tidak mungkin saya akan jadi sejahat itu. Manusia, ya, manusia, terlepas dari apa terlihatnya,” mungkin ujar kita dalam hati.
Tapi apakah kita yakin sudah luput dari sikap ableism ini?
Indonesia mungkin tidak memiliki sejarah sekelam ‘The Ugly Law’, hukum yang berlaku di Amerika dari pertengahan 1700 hingga 1970 yang tertulis melarang siapapun yang berpenyakit, lumpuh, atau cacat dalam bentuk apapun sampai dinilai tidak enak dipandang menjadi ilegal dan dilarang untuk mengekspos dirinya kepada publik, tapi stigma yang harus dihadapi masyarakat Indonesia yang menyandang disabilitas setiap harinya juga sama menyedihkan.
Tokoh-tokoh film yang dianggap menjadi lelucon dan ‘kebetulan’ juga adalah orang yang menyandang disabilitas mental, cemoohan ‘autis’ yang digunakan dan dilemparkan sembarangan sebagai hinaan, menirukan gerakan penyandang disabilitas yang masih ditertawakan, semua itu menjadi contoh dari bukti nyata bahwa kita masih menganggap disabilitas sebagai sesuatu yang hina dan pantas ditertawakan. Miris, bukan?
Segala upaya hukum telah diperjuangkan untuk mengatur hak-hak penyandang disabilitas, dan kenyataannya pelaksanaan dari hukum-hukum tersebut masih terhambat dan masih banyak masyarakat yang tidak cukup peduli untuk mengedukasi diri tentang disabilitas dan masih nyaman menggenggam tanpa sadar stigma yang membendung penyandang disabilitas.
Banyak dari kita membenarkan apa yang selama ini terjadi dengan alasan ‘saya tidak tahu’.
Sikap superior ini entah kita dapat dan tumbuhkan dari mana, entah dari kebiasaan apa dan apa awalnya, tapi rasanya rasa terlalu tinggi ini sudah mandarah daging saja.
Kita lupa bahwa yang awalnya hanya candaan dan tertawa yang kita anggap hanya permainan tak berbahaya, bisa menggoreskan luka dalam pada hati yang mendengarnya.
Sikap ableism dan stigma-stigma ini secara langsung dan tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kondisi psikis dan psikologis penyandang disabilitas.
Angkie Yudistira, seorang penyandang disabilitas kelahiran 1987 yang adalah pendiri Thisable Enterprise dan juga sempat menjadi staf khusus Presiden Jokowi mengatakan bahwa rasa malu yang dialami para penyandang disabilitas menggerus kepercayaan diri, mematahkan semangat, dan akhirnya mengubur kemampuan yang mereka miliki.
Jadi begitulah sedikit tentang ableism, sang pembunuh karakter berdarah dingin.
Periksa diri Anda sendiri, apakah Anda juga salah satunya?
Pengirim: Nadin Amizah / Mahasiswi London School of Public Relation Jakarta
E-mail: [email protected]