Kapan Indonesia Terbebas dari Korupsi?

Tri Apriyani | Joko Ade Nursiyono
Kapan Indonesia Terbebas dari Korupsi?
Ilustrasi korupsi. (Shutterstock)

Pendidikan pada dasarnya mampu mengantisipasi adanya motif-motif perbuatan yang merugikan, baik orang lain bahkan negara sekalipun. Salah satu perbuatan merugikan yang masih hinggap di Indonesia saat ini adalah korupsi.

Di negara yang disebut-sebut berstatus negara maju seperti Indonesia pun, rupanya korupsi masih berumur panjang. Belum efektif dan efisiennya penyelenggaran pelayanan publik dan pemerintahan disinyalir tetap menyingkap celah-celah koruptor melancatkan aksinya.

Padahal, dalam benak kita, negara maju itu memiliki sebuah sistem pemerintahan yang canggih dilengkapi rantai birokrasi yang mudah, sederhana, aman, dan pastinya terlindungi dari upaya koruptif.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat fakta miris yang malah bertolakbelakang dengan benak kita. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2019 sebesar 3,70 pada skala 0 sampai 5.

Artinya, tingkat permisif (toleransi) masyarakat terhadap korupsi masih tinggi, jauh di bawah target RPJMN 2019 yang sebesar 4 poin.

Informasi menarik akan kita dapatkan jika ditinjau menurut pendidikan dan umur. Tercatat, masyarakat pada umur 40-59 tahun adalah kelompok yang paling anti korupsi dibanding kelompok umur lainnya, yakni 3,73. Untuk IPAK masyarakat umur 40 tahun ke bawah adalah sebesar 3,66. Sedangkan umur 60 tahun atau lebih sebesar 3,66.

Berdasarkan pendidikan terakhir, IPAK masyarakat berpendidikan terakhir SMP ke bawah adalah sebesar 3,57, dan yang berpendidikan SMA (sederajat) sebesar 3,94. Sedangkan untuk SMA ke atas mencapai 4,05. Bisa disimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin anti korupsi (toleransi terhadap korupsi kecil).

Sebuah prediksi

Dengan menyandingkan antara IPAK menurut pendidikan dan umur, dapat diprediksi kapan Indonesia memiliki peluang bebas dari korupsi.

Data menunjukkan, masyarakat yang pada umumnya memiliki pendidikan setingkat SMP ke bawah dan rata-rata berumur 60 tahun ke atas, IPAK-nya sebesar 3 poin, IPAK kedua aspek hanya terpaut 0,09 poin.

Adapun untuk yang berpendidikan SMA sederajat dengan umur kisaran 40-59 tahun, IPAK-nya sedikit lebih tinggi dibanding yang berumur 60 tahun ke atas. Sedangkan untuk masyarakat yang berumur 40 tahun ke bawah atau berpendidikan setingkat SMA ke atas (tahun 2019) memiliki IPAK tertinggi dan kedua aspek terpaut hingga 0,39 poin.

Berdasarkan fakta tersebut, peluang Indonesia bakal relatif terbebas dari korupsi sekitar 10 tahun ke depan (atau tahun 2029 diukur dari 2019) dengan asumsi IPAK untuk umur 40 tahun ke bawah terus meningkat setiap tahun dan memberi akumulasi dampak saat memasuki kohort (angkatan) umur berikutnya.

Sebab, masyarakat yang pada tahun 2019 berumur 40 tahun telah menempati kohort umur 40-59 tahun. Di mana, pada rentang umur ini ditengarai seseorang telah cukup relevan menempati pos-pos birokrasi dan pemerintahan, bahkan mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan baik pemerintahan maupun non-pemerintahan.

Kecenderungan serupa ternyata juga terjadi antara IPAK tahun 2017 ke 2018. Besarnya angka IPAK untuk masyarakat berpendidikan terakhir SMA tahun 2018 merupakan dampak dari kohort masyarakat yang sebelumnya berumur 40 tahun ke bawah. Pola yang relatif sama juga terjadi bila kita runut datanya ke belakang sejak IPAK pertama kali dirilis (2012).

Fakta lain dari angka IPAK selama tujuh tahun terakhir juga memperlihatkan bahwa ketika masyarakat berumur 40 tahun ke bawah dengan pendidikan terakhir SMA ke atas, ternyata memiliki tingkat permisif (toleransi) terhadap korupsi semakin menurun ketika telah masuk pada kohort umur 40-59 tahun.

Artinya, ada kecenderungan masyarakat yang sebelumnya sangat anti korupsi akan kembali tidak anti korupsi, atau anti korupsinya menurun seiring bertambahnya umur.

Menyoal tentang korupsi, tentu tergantung pribadi masing-masing. Tapi, upaya pembenahan seluruh segmen kehidupan berbangsa dan bernegara harus tetap dilanjutkan mengingat korupsi seolah "penyakit" yang kerap kambuh apabila lalai ditengani.

Peranan pendidikan sebagai pemutus mata rantai korupsi juga perlu dimaksimalkan, mengingat sampai saat ini, tingginya pendidikan seseorang belum mampu menjamin ia terhindar dari perbuatan korupsi.

Pendidikan anti korupsi dan penguatan mental perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah formal maupun informal. Meski lahan korupsi masih terbuka, seiring dengan munculnya program-program pendanaan baru untuk kepentingan publik, setidaknya ke depan peluang korupsi dapat diperkecil dengan perbaikan sistem pelayanan masyarakat dan tata kelola keuangan negara yang berbasis teknologi. Semoga.(*)

*) Penulis: Joko Ade Nursiyono/Fungsional Statistisi BPS Provinsi Jawa Timur

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak