Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tumbuh lebih lambat dari 0,82 persen pada 2018 menjadi 0,74 persen pada 2019. Kendati telah naik kelas menjadi negara dengan IPM berkategori tinggi, perbaikan kualitas pembangunan manusia masih perlu diteruskan.
Sebagaimana yang telah dirilis BPS kemarin (17/2), IPM Indonesia pada tahun 2019 mencapai 71,92. Tercatat ada kenaikan sebesar 0,53 poin bila dibandingkan tahun 2018 (71,39). Tentu Indonesia patut berbangga mengingat tren IPM setiap tahunnya terus meningkat.
IPM merupakan salah satu indikator kualitas pembangunan manusia. Indeks komposit ini pertama kali diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 1990 dan menjadi ukuran seberapa besar dampak pembangunan yang telah dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat (outcome) di suatu wilayah selama periode waktu tertentu.
Sebagai indikator pembangunan manusia jangka panjang, kebijakan yang digulirkan pemerintah pastinya tidak akan serta-merta memberi efek terhadap peningkatan IPM. Dibutuhkan kebijakan yang dilakukan secara berkelanjutan untuk memacu akselerasi pertumbuhan IPM.
Dalam penghitungan IPM, terdapat tiga dimensi yang digunakan, yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. Dimensi kesehatan ditentukan oleh Umur Harapan Hidup (UHH) dengan menghitung lama hidup yang diharapkan (dicapai) bayi sejak lahir.
Pendekatan yang digunakan dalam dimensi ini meliputi rata-rata jumlah anak lahir hidup dan yang masih hidup.
Dimensi pendidikan ditentukan oleh Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). RLS adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk umur minimal 25 tahun dalam menjalani pendidikan formal.
Sementara HLS merupakan lama sekolah formal (tahun) yang diharapkan dan mampu diselesaikan oleh penduduk berumur 7 tahun ke atas di masa mendatang.
Sedangkan dimensi standar hidup layak diperoleh dengan menghitung besarnya pengeluaran per kapita per tahun yang disesuaikan didukung dengan data paritas daya beli. Besarnya pengeluaran per kapita diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Sementara itu, paritas daya beli diperoleh berdasarkan harga 96 komoditas kombinasi makanan dan non-makanan, dengan Jakarta Selatan sebagai acuan dasar penentu harganya.
Penyebab lambatnya laju pertumbuhan IPM Indonesia empat tahun terakhir dipicu oleh pelannya laju indikator-indikatornya. Jika kita amati, peningkatan UHH Indonesia dalam sembilan tahun terakhir tidak sampai 2 persen poin.
Pertumbuhan RLS tahun 2018 sebesar 0,86 persen poin, tahun 2019 melambat menjadi 0,31 persen poin. Demikian halnya dengan pengeluaran per kapita tahun 2018 sekitar 11 juta, naik tipis menjadi 11,3 juta di tahun 2019.
Mempertajam kebijakan
Percepatan pembangunan infrastruktur termasuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang gencar dilakukan pemerintah sejauh ini patut diapresiasi. Meski masih dibarengi dengan perlambatan laju IPM dalam tiga tahun terakhir.
Kenyataan ini masih dapat dibilang logis, ketika suatu wilayah telah mencapai IPM tinggi, laju pertumbuhannya cenderung semakin melambat.
IPM kali ini ditengarai sedikit meleset dari target Rancangan Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 yang sebesar 71,98. Beragam kebijakan telah dilakukan, antara lain pemerintah mengalokasikan 20 persen belanja APBN 2019 (492,5 triliun) bagi pendidikan.
Angka ini meningkat 11,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Anggaran sebesar 5 persen belanja APBN (123,1 triliun) digelontorkan untuk bidang kesehatan. Pun program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT) 2019 rupanya telah menyentuh 15,6 juta keluarga penerima manfaat.
Sejatinya, semua kebijakan itu dapat berfungsi menjaga kualitas pembangunan manusia, hanya saja pemerintah perlu mempertajam sasaran dan cakupan kebijakannya.
Pertama, memastikan angka kematian bayi menurun secara cepat setiap tahun. Fakta menyebutkan Angka Kematian Bayi (AKB) Indonesia masih sebesar 24. Artinya, terdapat 24 bayi yang meninggal untuk 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2017).
Terkait erat dengan AKB, peningkatkan kesehatan Wanita Usia Subur (WUS) dan ibu hamil sangat dibutuhkan untuk menjamin umur hidup bayi saat lahir berpeluang mencapai 12 bulan pertama, semakin besar.
Kedua, meningkatkan program penyetaraan pendidikan bagi penduduk 25 tahun ke atas untuk mencapai RLS tinggi. Dalam praktiknya, program ini masih sulit diterapkan. Penduduk Indonesia yang berumur 25 tahun atau lebih kebanyakan berpendidikan SD ke bawah.
Meskipun pemerintah telah menggalakkan program kejar paket A, B, dan paket C, minat mereka terlihat sangat rendah. Di samping karena umur, bekerja, dan mengurus rumah tangga tak dimungkiri menjadi alasan utama mereka.
Ketiga, pemerintah dapat memaksimalkan anggaran pendidikan untuk mencapai target HLS tinggi melalui pembenahan data pesantren modern yang notabene terdapat muatan pendidikan formal di dalamnya. Konsekuensi positif pembenahan data ini akan mendorong pemerataan capaian HLS di seluruh wilayah, misalnya menggencarkan program beasiswa sistem zonasi.
Keempat, untuk menaikkan tingkat pengeluaran per kapita per tahun, pemerintah sebenarnya cukup membenahi sistem penyaluran BPNT kepada masyarakat. Supaya hasilnya maksimal, monitor dan evaluasi program penyaluran BPNT dilakukan secara kontinu.
Sebagai statistik, catatan penting di balik capaian IPM patut kita perhatikan. Pemaknaan IPM pun harus benar mengingat sebagian angka ini diperoleh dari Susenas.
Kebijakan yang diberikan pemerintah tidak cukup bila hanya menyentuh wilayah tertentu namun abai terhadap wilayah lainnya. Pasti akan berbeda hasilnya, jika sampel yang terpilih Susenas tidak satu pun terkena kebijakan pemerintah.
Harapan kita ke depan tentunya bukan sekadar mencapai IPM tinggi, melainkan juga terjaganya kualitas dan elastisitas IPM terhadap kebijakan pemerintah. Pemahaman menyeluruh tentang dimensi IPM tentu membuat kebijakan semakin tajam dan tepat sasaran.(*)
*) Penulis: Joko Ade Nursiyono / Fungsional Statistisi di BPS Provinsi Jawa Timur