Pelayanan primer di Indonesia merupakan lini pertama dalam memperkuat kesehatan dan kesejahteran masayarakat Indonesia. Kondisi ini mengharuskan pelayanan primer di Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga mampu mewujudkan kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat.
World Health Organization (WHO) dalam Primary Health Care: Now More Than Ever menjelaskan salah satu strategi memperkuat pelayanan primer dilakukan dengan meningkatkan kualitas pelayanan primer.
Peningkatakan kualitas yang dimaksud dapat berupa pengadaan barang atau fasilitas dan peningkatan kemampuan pada tenaga kesehatan yang berada pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Rekomendasi yang diberikan salah satunya adanya keterlibatan Dokter Layanan Primer (DLP) pada pelayanan di FKTP. DLP merupakan dokter yang telah mengambil program pendidikan lanjutan setara spesialis yang menerapkan prinsip ilmu kedokteran keluarga dan ditunjang dengan ilmu kedokteran komunitas serta berfokus pada pelayanan di tingkat primer.
DLP dianggap memiliki kompetensi yang spesifik dalam menyelesaikan permasalahan pasien yang berorientasi pada kebutuhan pasien secara menyeluruh di tingkat individu, keluarga, maupun komunitas.
Pendidikan DLP merupakan realisasi dalam melakukan strategi penguatan layanan primer dengan meningkatkan kemampuan dokter untuk mengatasi permasalahan kesehatan di masyarakat. Beberapa negara telah memiliki program pendidikan dokter layanan primer dan menempatkan lulusannya pada pelayanan primer yang tersebar di beberapa wilayah.
Sebanyak 62 negara ditemukan telah melakukan sistem pendidikan dokter layanan primer dengan lama studi berkisar 2-6 tahun dan lama studi terbanyak selama 3 tahun. Pada 33 negara ditemukan kewajiban untuk mengikut pendidikan lanjutan terkait layanan primer apabila ingin berpraktik di pusat layanan primer.
Di Indonesia, pendidikan DLP masih dalam proses pengembangan dengan dibukanya program studi dokter layanan primer pada salah satu universitas negeri di Jawa dengan lama studi dua tahun atau empat semester. DLP termasuk dalam program spesialis generalis yang berarti spesialis yang tidak hanya berfokus pada satu bidang saja.
Kompetensi DLP dijabarkan dalam RPP implementasi UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang menyebutkan bahwa DLP memiliki kompetensi sebagai berikut:
- DLP memiliki etika, hukum, dan profesionalisme di tingkat layanan primer
- DLP dapat berkomunikasi secara holistik, komprehensif, dan kecakapan budaya
- DLP dapat melakukan pengelolaan kesehatan yang berfokus pada individu dan keluarga
- DLP memiliki keterampilan klinis dengan pendekatan yang mengedepankan pencegahan di tingkat pelayanan primer
- DLP dapat melakukan manajemen fasilitas pelayanan kesehatan primer
- DLP mampu mengelola kesehatan yang berorientasi di komunitas dan masyarkat
- DLP memiliki jiwa kepemimpinan
DLP membantu negara dalam mengoptimalkan aspek promotif dan preventif sehingga layanan yang diberikan lebih komprehensif. DLP juga dinilai mampu menekan angka rujukan dengan menyelesaikan permasalahan kesehatan non spesifik di tingkat FKTP.
Hal ini membantu FKTP dalam menstabilkan cost effective dalam pelayanan di tingkat primer. Beberapa negara telah membuktikan bahwa penerapan DLP memberikan dampak yang positif pada sistem pelayanan primer di negaranya.
Penerapan program DLP di Thailand berhasil menurunkan kasus rujukan hingga mencapai 11,82 persen. Angka kematian bayi dan rujukan dari FKTP ke rumah sakit juga mengalami penurunan di Brazil dengan adanya DLP.
Di India, masyarakat lebih memilih untuk menggunakan pelayanan primer dikarenakan DLP mampu mengatasi permasalahan mereka dan FKTP lebih dekat dari rumah mereka sehingga mudah dijangkau. Sementara itu di Kuba, masayarakat lebih memilih menggunakan layanan primer dikarenakan mengedepankan tindakan promotif dan preventif dengan kunjungan rumah dan penyuluhan yang dilakukan oleh DLP.
Namun beberapa kasus juga menjelaskan bahwa tidak semua negara yang menerapkan DLP mengalami keberhasilan dalam pengelolaan FKTP. Di Iran adanya DLP tidak memberikan pengaruh spesifik pada angka rujukan ke rumah sakit. Selain itu, beberapa kasus menyebutkan DLP tidak mampu mengatasi permasalahan kesehatan yang ada dan mempersulit rujukan serta akses ke rumah sakit. Sehingga munculnya DLP di Indonesia menjadi dilema tersendiri bagi pelayanan primer.
Di Indonesia saat ini penerapan DLP masih belum merata di setiap wilayahnya. Mayoritas pelayanan primer di wilayah Indonesia masih diisi oleh dokter umum.
Beberapa klinik di Jawa memang sudah memiliki dokter layanan primer namun tidak ada data yang pasti dalam menunjukan lokasi penempatan layanan primer yang telah memiliki DLP. Selain itu, tidak adanya data yang menunjukan berapa jumlah dokter layanan primer yang dimiliki Indonesia menyulitkan dalam melakuakan penganalisisan terkait pelayanan yang diberikan oleh DLP kepada masyarakat.
Permasalahan lain terkait regulasi yang mengatur penerapan kebijakan dokter layanan primer juga masih menjadi kontroversi sehingga kondisi ini menyebabkan sulitnya melihat efektifitas penerapan DLP pada layanan primer di Indonesia.
Dilematisnya penerapan DLP di Indonesia memunculkan berbagai pertanyaan apakah DLP ini merupakan solusi terbaik atau hanya akan menjadi pelengkap saja pada perangkat layanan primer di Indonesia tanpa memberikan pengaruh apapun terhadap pelayanan?
Jawabannya terdapat pada masyarakat sebagai penggunan pelayanan primer yang mampu merasakan seberapa besar pengaruh DLP terhadap pelayanan primer di Indonesia.
Dalam gagasan reformasi pelayanan kesehatan tingkat pertama, DLP menjadi solusi bagi peningkatan kualitas layanan. Namun, penerapannya di Indonesia menuai banyak kritikan terutama pada sistem kebijakan yang masih belum mencapai kesepakatan.
Kebijakan yang ditetapkan terkait pendidikan DLP terkesan masih compang camping karena belum adanya titik temua antara pemerintahan dengan pendidikan kedokteran. Kondisi ini menyulitakan penerapan kebijakan DLP sebagai dokter pada faskes tingkat pertama sehingga keefektifan pelayanan DLP pun tidak dapat terukur penerapannya di Indoneisa.
Hal tersebut terjadi karena tidak semua lapisan masyarakat dapat merasakan pelayanan yang diberikan oleh DLP disebabkan minimnya DLP di Indoneisa sehingga sulit merasakan efektifitas pelayanan yang diberikan.
Oleh: Farhah Kamilah / Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta