Tak terasa sudah hampir dua bulan Indonesia dilanda wabah Corona sejak bulan Februari saat kasus pertama ditemukan pada dua orang wanita yang berasal dari Depok, Jawa Barat karena telah melakukan interaksi dengan WNA asal Jepang yang belum terdeteksi memiliki riwayat penyakit Corona. COVID-19 adalah strain baru dari Coronavirus yang menular dan berasal dari Wuhan, Cina pada bulan Desember 2019.
Virus ini diduga berasal dari zoonosis dan kemungkinan telah menyebar dari pasar makanan laut dan hewan besar melalui kontak antar manusia-hewan di kota Wuhan.
Virus ini menyebabkan infeksi pernafasan, dengan gejala termasuk kelelahan, demam, sesak napas, gagal pernafasan, gagal ginjal dan kematian. Bahkan pada tanggal 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menetapkan Wabah COVID-19 ini sebagai sebuah pandemi di berbagai belahan dunia.
Pandemi itu sendiri adalah sebuah epidemi (peningkatan jumlah kasus seecara tiba-tiba pada suatu populasi di area tertentu) yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua yang umumnya menjangkiti banyak orang.
Berdasarkan data dari Woldometers (situs web referensi perhitungan statistika waktu nyata COVID-19 di dunia), hingga Rabu 915/4/20) pukul 03.41 GMT, tercatat ada 1.999.048 kasus virus Corona di seluruh dunia. 126.708 orang meninggal, sedangkan 478.932 orang dinyatakan telah pulih dari infeksi.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Covid19.go.id, hingga Selasa (14/4/20) pukul 16.15, tercatat ada 4.839 kasus orang yang positif terjangkit virus Corona, 459 orang meninggal, sedangkan 426 orang dinyatakan telah pulih dari infeksi.
Melihat banyaknya kasus orang yang positif terjangkit COVID-19 di Inonesia, Pemerintah pun tidak tinggal diam dan telah melakukan beberapa kebijakan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang telah diambil Pemerintah diantaranya adalah:
- Melakukan Rapid Test (Tes Cepat),
- Melakukan Kebijakan Isolasi Diri di rumah selama 14 hari (Dirumah Aja: belajar dan bekerja dirumah),
- Melakukan Kebijakan Social dan Physical Distancing (menjaga jarak sejauh 1-2 meter dari orang lain),
- Melakukan penyemprotan desinfektan di seluruh tempat,
- Imbauan untuk memakai masker dan mencuci tangan dengan sabun atau handsanitizer,
- Pemberian bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu,
- Memberi diskon bagi pengguna PLN bersubsidi dengan tarif 450 dan 900 watt,
- Pemberian Kartu Prakerja bagi masyarakat yang belum bekerja atau telah di PHK,
- Pelonggaran kredit, dan
- Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Adanya kebijakan-kebijakan tersebut dirasa bagaikan boomerang, disamping untuk menyelamatkan masyarakat dari semakin meluasnya persebaran virus Corona di Indonesia, namun juga memiliki efek terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia cukup terhantam keras dengan penyebaran virus Corona. Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), Ani dalam telekonferensi di Jakarta mengungkapkan bahwa Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario terburuk bisa -0,4 persen. Berdasarkan assessment yang dilihat, BI, OJK, dan LPS, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenario terburuk, bisa mencapai -0,4 persen.
Hal ini disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2 persen - 1,2 persen. Investasi yang tadinya diperkirakan akan meningkat sebesar 6 persen pun, akibat dari COVID-19 maka diprediksi justru akan merosot ke level 1 persen bahkan hingga -0,4 persen.
Ekspor dan impor pun akan tetap negatif pertumbuhannya. Merosotnya pertumbuhan ekonomi ini, merupakan salah satu indikasi dari kegagalan pasar, di mana mekanisme pasar tidak dapat menyelesaikan permasalahannya itu sendiri.
Kegagalan pasar terjadi karena adanya permintaan (demand), namun tidak supply dapat memenuhi permintaan yang ada, dan sebaliknya. Kegagalan pasar dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Adanya monopoli atau monopsoni,
- Eksternalitas positif maupun negatif,
- Faktor domestik yang tidak sempurna,
- Kegagalan Pemerintah,
- Resesi,
- Krisis,
- Inflasi,
- Pengangguran,
- Distribusi pendapatan, dan
- Barang publik.
Beberapa contoh kegagalan pasar yang terjadi selama masa pandemi COVID-19 ini diantaranya: Pertama, dari sektor kesehatan, di mana pemerintah masih belum dapat memenuhi kebutuhan atas Alat Pelindung Diri dan Masker untuk tenaga medis.
Kedua, dari sektor transportasi, di mana transportasi yang merupakan barang publik, harus dibatasi jam operasionalnya, sehingga kurang memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Ketiga, dari sektor perdagangan, di mana terjadinya inflasi atas beberapa bahan impor, terutama sembako yang mengalami inflasi, misalnya seperti gula pasir yang mengalami inflasi cukup drastis hingga mencapai Rp 18.011/kg dari harga semula Rp 13.000/kg.
Pada awal kasus pertama terjadi di Indonesia pun, sudah terjadi krisis yang diakibatkan oleh Panic Buying. Masyarakat berbondong-bondong untuk membeli masker, handsanitizer, dan desinfektan dalam jumlah yang banyak, sehingga terjadilah krisis atau kelangkaan terhadap barang-barang tersebut.
Terakhir, dari sektor UMKM karena terdapat kebijakan restriksi atau pembatasan kegiatan ekonomi dan sosial (karena Social dan Physical Distancing), sehingga menurunkan daya beli masyarakat karena masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya dari Pemerintah untuk mengatasi permasalahan kegagalan pasar tersebut. Ada beberapa kebijakan yang sudah dilakukan oleh Pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut, diantaranya pemberian subsidi berupa sembako, menggratiskan tarif pembayaran listrik bagi masyarakat yang kurang mampu (450V dan 900V), bekerja sama dengan Korea Selatan dalam menyediakan alat tes untuk Corona, serta mengimpor APD dan masker dari Cina untuk para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam menangani Corona.
Oleh: Inas Khairunisa / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.